Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bertolt Brecht: Buta Terburuk adalah Buta Politik!

2 Januari 2020   02:02 Diperbarui: 2 Januari 2020   02:51 5356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."

Lanjutnya...

"Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."

Begitu sindir Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).

Bernas dan tajam kritik sosial sang penyair. Kesadaran bernegara, yang dalam pemahaman klasik Aristotelian politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonnum commune). Sayangnya kesadaran seperti ini belum meluas dan mengakar dalam tradisi kita. Tak bisa dipungkiri masih cukup banyak segmen masyarakat kita yang alergi dengan politik.

Sikap alergi politik ini bisa dimengerti. Lantaran minimnya teladan baik dari para politisi itu sendiri. Gejala alergi politik ini mesti diakui sudah cukup akut (parah) dan kronis (menahun). Setelah alergi politik muncuk apatisme, sikap pasrah, terserah aja lah...emang gue pikirin? situasi jadi tambah parah dengan munculkan gejala oportunisme politik. Asal ada duit gue pilih deh. Politik uang merebak, membuat kepercayaan pada politik itu sendiri tambah terpuruk.

Baru-baru ini Jakarta kebanjiran. Lalu kritik sosial politik pun meluncur ke arah administrasi pemerintahan daerah. Ada yang setuju, ada pula yang sinis dan bilang, "...sudahlah jangan banyak kritik, ini soal bencana kok, lakukan pertolongan warga dan kirim bantuan saja!" Naif sekali. Dianggapnya banjir ibu kota ini cuma fenomena aksidentalia, tanpa latar belakang yang lebih substantif di kebijakan-kebijakan politik pemerintah daerah sebelum katastropi ini terjadi.

Citra Politik Baik Perlu Dikembalikan.

Untuk itu dibutuhkan kekuatan politik baru yang bisa dipercaya untuk mengembalikan politik ke tempat yang terhormat. Butuh suatu proses konsientisasi (penyadaran kembali) bahwa politik itu sesungguhnya adalah sebuah tugas mulia untuk mewujudkan kebahagiaan bagi semua orang.

Sengkarut politik hari ini mesti dikembalikan pada hakekat nilai politik yang sesungguhnya luhur. Upaya mendekatkan kembali politik dengan nilai-nilai kebajikan agar lahir negarawan yang seluruh pikiran dan tindakannya didasarkan atas kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara Indonesia, bukan sekadar kepentingan pribadi politik jangka pendek.

Untuk itu perlu terobosan. Kita perlu mesin politik baru,  kehadiran sebuah partai politik yang punya visi, misi, program, manajemen, dan strategi yang secara tegas berbeda dari praktek partai yang lama. Mesin politik baru (Partai) ini harus progresif, artinya mampu merespon aspirasi generasi masa depan bangsa yang dalam 10 atau 20 tahun nanti akan menentukan konstelasi perpolitikan Indonesia. Partai baru ini juga mesti jadi teladan bahwa kesuksesan dalam politik  bisa dicapai dengan cara yang jujur, adil dan transparan. Artinya meninggalkan kebiasaan  lama yang selama ini dipraktekan oleh partai-partai yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun