Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change, yaitu agen perubahan yang memiliki potensi besar dalam membentuk arah bangsa. Dalam sejarah Indonesia, peran mahasiswa tidak bisa dipisahkan dari perjalanan politik bangsa. Dari masa penjajahan, Orde Lama, hingga era Reformasi, mahasiswa selalu menjadi motor penggerak dalam memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Namun, di era modern yang serba digital ini, peran politik mahasiswa mengalami dinamika yang menarik untuk dicermati.
Secara konseptual, politik tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan praktis yang berkaitan dengan kekuasaan, pemilu, atau partai politik. Politik juga mencakup segala upaya untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, mahasiswa memiliki posisi strategis karena mereka merupakan kelompok intelektual muda yang relatif bebas dari kepentingan ekonomi maupun kekuasaan. Mahasiswa diharapkan mampu berpikir kritis terhadap kebijakan publik dan mengawasi jalannya pemerintahan sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga demokrasi.
Jika kita menengok ke belakang, kontribusi mahasiswa dalam politik telah terbukti signifikan. Gerakan mahasiswa tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim Orde Lama yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Demikian pula pada tahun 1998, mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menuntut turunnya Presiden Soeharto dan lahirnya era Reformasi. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa bukan hanya penonton, tetapi pelaku sejarah yang berani menanggung risiko demi perubahan bangsa. Semangat idealisme, keberanian, dan solidaritas menjadi ciri khas gerakan mahasiswa yang patut terus dipertahankan.
Namun, tantangan mahasiswa dalam politik masa kini jauh lebih kompleks. Arus informasi yang deras di media sosial membuat mahasiswa harus lebih bijak dalam menyerap dan menilai isu politik. Banyak gerakan politik yang kini dilakukan melalui dunia digital, tetapi tidak semua gerakan tersebut memiliki dasar yang kuat dan tujuan yang jelas. Fenomena slacktivism --- yaitu aktivisme yang hanya sebatas di mediaÂ
sosial tanpa tindakan nyata --- menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa agar tidak terjebak dalam euforia digital tanpa substansi. Mahasiswa perlu belajar untuk memanfaatkan media digital sebagai alat perjuangan yang cerdas, bukan sekadar ruang ekspresi emosional.
Selain itu, mahasiswa juga harus mampu menjaga idealismenya di tengah godaan pragmatisme politik. Tidak sedikit mahasiswa yang ketika masuk ke dalam dunia politik praktis justru kehilangan nilai kritis dan idealismenya karena tergoda oleh kekuasaan dan kepentingan pribadi. Padahal, kekuatan utama mahasiswa adalah suara moralnya yang bebas dari kepentingan pribadi dan keberpihakan pada kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk terus memperkuat wawasan politiknya melalui kajian, diskusi, dan kegiatan organisasi yang sehat agar mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kepentingan sesaat.
Mahasiswa juga memiliki peran penting dalam membangun politik partisipatif. Artinya, mereka tidak hanya mengkritik dari luar, tetapi juga bisa ikut serta dalam proses politik yang konstruktif. Misalnya, dengan aktif dalam organisasi kemahasiswaan, mengikuti forum-forum publik, atau terlibat dalam kegiatan advokasi kebijakan. Melalui cara ini, mahasiswa dapat menyalurkan aspirasinya secara terarah dan memberi dampak nyata bagi masyarakat. Keterlibatan mahasiswa dalam politik partisipatif juga dapat menumbuhkan budaya demokrasi yang sehat di kalangan generasi muda.
Selain menjadi pengawas dan penggerak, mahasiswa juga berperan sebagai penyambung lidah rakyat. Banyak persoalan masyarakat yang kurang mendapat perhatian pemerintah, seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, atau pendidikan yang tidak merata. Di sinilah peran mahasiswa diperlukan untuk menyuarakan aspirasi rakyat kecil agar tidak terpinggirkan. Melalui kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat, dan gerakan sosial, mahasiswa dapat menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah.
Ke depan, mahasiswa perlu menyeimbangkan antara idealisme dan profesionalisme. Kritis boleh, tetapi harus disertai dengan solusi. Aktivis boleh, tetapi juga harus berilmu. Mahasiswa yang melek politik bukan hanya yang pandai berorasi, melainkan juga yang mampu berpikir strategis, berbicara dengan data, dan berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Dalam era globalisasi dan kompetisi yang semakin ketat, mahasiswa dituntut untuk memiliki pemahaman politik yang matang agar tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan pihak tertentu.
Akhirnya, peran mahasiswa dalam politik bukan hanya untuk kepentingan kelompok atau kampus, tetapi untuk masa depan Indonesia secara keseluruhan. Mahasiswa adalah penjaga nurani bangsa yang bertugas memastikan bahwa politik tidak melenceng dari nilai keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi. Jika mahasiswa mampu menjaga idealisme, memperkuat intelektualitas, dan menegakkan moralitas, maka harapan akan lahirnya politik yang bersih, jujur, dan berpihak pada rakyat bukanlah sekadar impian, melainkan kenyataan yang dapat diwujudkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI