Akan terlalu sempit rasanya jika demo hanya dilakukan dengan turun ke jalan. Demo itu bukan sekedar aksi, melainkan bagian dari akal budi manusia yang bergerak lewat intuisi rasional. Demonstrasi dimulai dengan adanya kesadaran untuk menuntut kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan dengan menata ulang kebijakan dan kinerja pemerintah.
Aduh rumit banget bahasanya, sederhanain dong! Demo itu menggunakan dasar logika kids. Jika demo hanya digerakkan oleh rasa benci, maka tujuan demo tidak akan pernah tercapai. Demo yang digerakkan atas dasar kebencian bertolak belakang dengan esensi demo yang sesungguhnya. Tuntutan yang dilayangkan pada pemerintah harus bersifat rasional dengan mempertimbangkan konsekuensi logis dari tuntutan tersebut.
Contoh tuntutan yang gak rasional emangnya gimana? Nah, contoh tuntutan yang tidak rasional pada demo kemarin adalah tuntutan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak bisa dipungkiri jika kinerja DPR agak melenceng dari rute yang seharusnya. Korupsi besar-besaran, tidur waktu rapat, main judi, buka situs porno, sampai jogat-joget bak di pesta dansa. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah alasan yang masuk akal untuk membubarkan DPR. Pertanyaannya kids: yang sebenarnya perlu dibenahi DPR-nya atau anggota-anggotanya?
Pembubaran DPR sebelumnya pernah dilakukan oleh presiden Soekarno. Beliau mengganti DPR menjadi DPR-GR atau yang dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Namun, pada akhirnya, Soekarno mengembalikan DPR ke meja tugas karena DPR-GR dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Indonesia menganut sistem politik trias politika. Sistem ini membagi kekuasaan menjadi tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga legislatif berfungsi untuk membatasi wewenang eksekutif. Jika legislatif dihapus, maka pembatasan kewenangan eksekutif otomatis terhapus sehingga memungkinkan terjadinya pemutlakan kekuasaan. Presiden akan menjadi raja seumur hidup tanpa kendali legislatif.
Tuntutan untuk membubarkan DPR adalah keputusan yang didasarkan oleh kebencian semata. Bukan DPR yang harus dibubarkan, tapi kabinetnya yang perlu dirombak. Solusi yang lebih tepat adalah melakukan pemilihan ulang agar rakyat mempunyai kesempatan untuk memilih pemimpin yang dikehendaki. Pembubaran DPR hanya akan memunculkan ketimpangan sosial yang lebih serius.
Berdemo berarti siap mengkritisi. Kemampuan berpikir kritis membantu anak muda untuk melihat permasalahan yang sesungguhnya. Demo itu terstruktur, bukan ngalor ngidul. Fokus pada sasaran yang dituju, bukan malah merembet ke mana-mana. Siap min, contohnya kayak pembakaran gedung Grahadi kemarin kan? Pintar sobat! Pembakaran gedung Grahadi adalah contoh demonstrasi yang tidak terstruktur. Boleh kita menyuarakan protes, namun suarakanlah keluhan itu dengan tepat sasaran. Fasilitas umum tidak berdosa, tidak juga bersalah, tapi justru jadi sasaran amukan demonstran tak bertanggung jawab.
Perusakan fasilitas umum berpotensi untuk memunculkan kasualitas. Orang tak bersalah atau bahkan tak tahu apa-apa bisa jadi korban. Anehnya, masih ada saja orang yang mendukung tindakan ini bahkan memprovokasi untuk memblokir akses-akses vital seperti bandara, stasiun, hingga rumah sakit. Tempat-tempat tersebut memegang peran kunci dalam perekonomian negara. Jika dirusak atau dihancurkan, bukankah situasi akan bertambah sulit? Ada orang yang hanya ingin bekerja, namun harus jadi korban dari amukan massa. Contoh nyatanya ialah kejadian pilu yang terjadi di gedung DPRD Makassar yang dibakar oleh massa. Niatnya memang untuk menarik perhatian pemerintah. Akan tetapi, ada nyawa tak berdosa yang ikut hangus bersamaan dengan runtuhnya gedung. Mereka cuman staff dan pegawai. Mereka tidak memalingkan wajah dari kondisi Indonesia, tapi tuntutan kebutuhan membuat mereka harus memilih hal apa yang lebih krusial untuk dilakukan.
Waduh, gawat bener nih. Makin ngaco aja! Eh Sabar dulu kids. Masih ada yang lebih gong. Ada beberapa oknum di media sosial yang menyerukan ujaran kebencian kepada orang Tionghoa. Lagi dan lagi, kaum Tionghoa dijadikan kambing hitam atas berbagai permasalahan yang terjadi. Kok bisa gitu sih?. Hal ini adalah indikasi adanya ketimpangan ekonomi. Orang miskin dasarnya lebih mudah disetir, karena mereka sejatinya lebih memedulikan urusan duit ketimbang bela negara. Mereka merasa iri dengan kaum Tionghoa yang mereka lihat lebih mapan dari segi ekonomi. Padahal ya, gak semua cina itu kaya loh.
Kebencian terhadap kaum Tionghoa tampaknya telah mendarah daging di Indonesia. Situasi ini membuat Rakyat kita mudah dipecah belah. Rakyat seharusnya berjuang bersama, bertumpu tangan untuk membangun negeri. Ingat kids, bukan cuman Jawa yang bisa demo! Teman-teman Tionghoa juga merupakan pribumi Indonesia yang mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Demo kemarin seperti sudah kehilangan tujuannya. Orang yang pintar akan menahan diri untuk tidak turun ke Jalan. Diam di rumah, cari aman , dan melakukan protes via media sosial masing-masing. Jalan sudah dikuasai kriminal-kriminal songong yang anarkis. Bagi mereka demo bukan lagi soal membenahi negara, tetapi kesempatan untuk menjarah dan merusak fasilitas umum. Demo itu damai. Jika demo diwarnai aksi kekerasan dan tindak kriminal, itu bukan demo. Itu adalah kerusuhan yang mengatasnamakan demonstrasi.