Impor beras adalah buah simalakama untuk pemerintah. Bila dilakukan, maka akan dibully karena dibilang tidak pro petani. Bila tidak dilakukan, maka ada peluang besar terjadi kekacauan di dalam negara akibat defisit pasokan pangan pokok.
Memang dalam menjalankan negara, tidak ada keputusan yang mudah. Tapi demi kemaslahatan masyarakat banyak, pil pahit pun harus ditelan.
Sebenarnya, bila kita mau jujur mengakui, Indonesia memang belum pernah bisa mencukupi kebutuhan berasnya sendiri. Kita hanya pernah swasembada sekali, itu pun di jaman orde baru. Kini, dengan kondisi lahan pertanian yang makin sempit, regenerasi petani yang nyaris tidak ada, tantangan produksi beras jadi makin berat.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, Indonesia hampir selalu mengimpor beras utuk mencukupi kebutuhannya. Contohnya, tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan untuk impor sebanyak 2,5 juta ton. Tahun itu merupakan momentum Pemilu. Bayangkan apa yang bisa terjadi seandainya terjadi kelangkaan beras?
Berlanjut di tahun 2015, Indonesia kembali mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. Hingga 2018 ini, Indonesia berencana mengimpor sebanyak 2 juta ton.
Publik juga harus ingat, tahun 2018-2019 ini adalah tahun politik. Segala sesuatu bisa dijadikan sebagai komoditas politik. Apa jadinya bila pemerintah sengaja tidak mengimpor beras, demi menyelamatkan mukanya dari bully lawan politik?
Akan terjadi kelangkaan beras. Hukum besi ekonomi berlaku, harga beras di pasaran meroket. Kondisi itu jauh lebih membahayakan bagi masyarakat, karena ia akan menjadi bola liar. Oleh karena itu, lebih baik pemerintah saja yang merelakan mukanya dirisak oleh lawan politik. Biar rakyat tetap merasakan pasokan beras yang stabil dan harga yang masuk akal, untuk mengisi perut-perut lapar.