“Canyoneering menantang adrenalin sekaligus doa orang tua.” Begitulah caption yang kerap muncul di media sosial anak muda. Ungkapan ini mungkin terdengar berlebihan, tapi siapa pun yang pernah mencoba pasti paham mengapa aktivitas ini dianggap begitu menantang.
Canyoneering, atau canyoning, kini menjadi salah satu tren wisata alam yang sedang naik daun. Bayangkan bergelantungan dengan tali di tebing terjal, diterpa derasnya air terjun, lalu berpose seolah dunia hanya milikmu tak heran aktivitas ini cepat viral di TikTok maupun Instagram.
Pada dasarnya, canyoneering adalah olahraga luar ruangan yang menggabungkan penjelajahan rute, teknik menuruni tebing vertikal, berenang, hingga hiking. Di banyak negara, aktivitas ini dikenal sebagai olahraga ekstrem. Namun di Indonesia, canyoneering kini juga dilihat sebagai pengalaman wisata yang memadukan tantangan fisik, keindahan alam, dan tentu saja momen estetik untuk media sosial.
Popularitas canyoneering semakin meluas berkat media sosial. Pose-pose ekstrem mulai dari tubuh terbentang sambil memegang kaki, posisi terbalik dengan simbol hati, hingga gaya menembak di udara, menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan sebelum turun tebing, banyak anak muda membuat video TikTok dengan gaya kreatif mereka masing-masing.
Fenomena ini bukan hanya hiburan semata. Viralitas canyoneering ikut membuka peluang baru di sektor wisata. Banyak penyedia jasa kini menawarkan paket khusus untuk pengalaman ini, lengkap dengan pemandu dan perlengkapan. Bagi daerah yang memiliki sungai, air terjun, atau ngarai, canyoneering bisa menjadi penggerak ekonomi lokal sekaligus sarana promosi wisata.
Meski terlihat menyenangkan, canyoneering tetap termasuk olahraga ekstrem. Tantangan utamanya datang dari tebing tinggi, bebatuan tajam, lumut licin, serta derasnya aliran air. Untuk itu, setiap peserta wajib mengikuti arahan pemandu dan melakukan pemanasan sebelum menuruni tebing. Tujuannya jelas meminimalkan risiko kecelakaan.
Namun, namanya juga aktivitas alam, hal-hal tak terduga tetap bisa terjadi misalnya terpeleset, terantuk batu, hingga kram otot di tengah perjalanan. Karena itu, kondisi fisik yang prima menjadi syarat penting sebelum mencoba. Canyoneering bukan wisata santai yang bisa dilakukan siapa saja, melainkan aktivitas yang menuntut kekuatan fisik dan keberanian mental.
Operator wisata biasanya sudah menyediakan perlengkapan dasar seperti helm, sarung tangan, pelindung lutut, sandal atau sepatu khusus, serta tali penopang. Meski begitu, ada baiknya peserta membawa perlengkapan pribadi untuk kenyamanan ekstra. Misalnya, pakaian yang cepat kering agar tubuh tidak kedinginan, sepatu dengan daya cengkeram kuat untuk mengurangi risiko terpeleset, serta peralatan P3K sederhana sebagai langkah antisipasi. Wadah anti-air juga penting untuk melindungi ponsel, uang, atau dokumen penting, sementara snack ringan bisa membantu menjaga energi selama aktivitas berlangsung.
Bergelantungan sambil melawan derasnya air terjun memang seru, tapi tidak setiap saat cocok untuk melakukan canyoneering. Debit air yang terlalu deras justru meningkatkan risiko. Karena itu, waktu terbaik biasanya saat musim kemarau atau ketika aliran sungai relatif stabil.
Pada akhirnya, canyoneering bukan sekadar tren viral di media sosial, melainkan pengalaman seru yang menyatukan keberanian, kekuatan fisik, dan keindahan alam. Namun, seberapa pun menariknya aksi bergelantungan di derasnya air terjun, keselamatan tetap harus jadi prioritas utama. Jika dilakukan dengan persiapan matang dan sikap yang bijak, canyoneering bisa menjadi cara terbaik untuk merasakan sensasi petualangan sekaligus menikmati alam Indonesia dari sudut yang berbeda.