Apakah kehidupan ini sungguh nyata, atau sekadar ilusi yang dibentuk oleh pikiran kita? Filsafat sejak lama mempertanyakan hal ini. Plato melalui alegori gua menunjukkan bahwa manusia hanya melihat bayangan, bukan realitas sejati. Dalam tradisi Buddhisme, kehidupan disebut My---sebuah ilusi, karena pikiran melekat pada persepsi yang selalu berubah.
Psikologi modern mendukung pandangan tersebut. Penelitian tentang confirmation bias (Nickerson, 1998) membuktikan bahwa manusia hanya memperhatikan informasi yang selaras dengan keyakinannya. Begitu pula self-fulfilling prophecy (Merton, 1948) menunjukkan bahwa keyakinan bisa menjadi kenyataan, karena memengaruhi tindakan kita. Dengan kata lain, apa yang kita pikirkan sering kali benar-benar kita temukan.
Neurosains menambahkan bukti ilmiah. Penelitian Posner & Petersen (1990) tentang sistem perhatian membuktikan bahwa otak hanya memilih sebagian kecil dari stimulus yang ada. Realitas kita terbentuk dari fokus pikiran, bukan keseluruhan dunia. Bahkan fisika kuantum melalui prinsip ketidakpastian Heisenberg memberi gambaran bahwa pengamatan dapat memengaruhi keadaan partikel subatom, seakan-akan persepsi kita berperan dalam realitas itu sendiri.
Maka, kehidupan bukan semata-mata ilusi total, melainkan realitas yang difilter oleh pikiran kita. Dunia yang kita jalani adalah konstruksi antara kenyataan objektif dan interpretasi subjektif. Pikiran menjadi lensa: jernihnya lensa membuat realitas lebih terang, keruhnya lensa menjadikan hidup sekadar bayangan ilusi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI