Belis sebagai syarat dalam membentuk sebuah perkawinan sudah menjadi tradisi di hampir semua masyarakat. Belis biasanya diberikan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Belis merupakan tanda adanya ikatan antara kedua mempelai untuk membentuk keluarga baru.
Belis dimaksudkan untuk tidak memberikan ruang terjadinya perceraian dan poligami. Jika di masa depan terjadi perceraian dan poligami, pihak yang ingin bercerai harus siap mengembalikan semua barang yang sudah diterima atau bahkan pengembaliannya bisa dua kali lipat bahkan lebih.
Belis dapat menjadi pemberi tanda akan status sosial seorang perempuan. Status sosial seorang perempuan dapat diketahui dari jumlah belis yang diberikan. Semakin besar belis yang diberikan maka derajatnya semakin dihargai.
Besar kecilnya belis sangat bergantung dari derajat sosial maupun pendidikan seorang perempuan. Besar kecilnya belis juga dapat ditentukan berdasarkan status dan pendidikan perempuan. Dengan demikian pemberian belis berarti meninggikan derajat wanita di mata masyarakat.
Belis juga merupakan sarana pemindahan kepemilikan perempuan. Perempuan menjadi milik suami dan keluarganya. Dengannya mereka bersedia dan mampu untuk bertanggungjawab terhadap kehidupan perempuan dan keturunannya di masa depan.
Namun demikian patut dipahami bahwa budaya belis merupakan tradisi. Budaya merupakan ekspresi jiwa kelompok masyarakat tertentu terhadap hal yang tertentu pula. Dalam dirinya budaya dapat berubah seiring berjalannya waktu selaras dengan meningkatnya tingkat dan kualitas pendidikan. Atau dengan perkataan lain hendak dikatakan bahwa simpul perubahan sebuah budaya terletak pada perubahan pemahaman berdasarkan tingkat dan kualitas pendidikan kelompok masyarakat tertentu.
Ini hendak mengatakan bahwa budaya belis sejatinya dapat berubah. CINTA harus dapat mengatasi segalanya. Belis hanya menjadi sarana dan alat, tetapi tidak dapat menjadi syarat mutlak. Status dan kedudukan sosial seseorang juga dapat berubah dari waktu ke waktu. Dengannya berarti bahwa belis tidak dapat menjadi patokan tunggal dalam menentukan status sosial seseorang. Dan yang lebih penting dari itu, semua manusia memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Ini berarti kecil besarnya belis tidak dapat mengurangi atau meninggikan martabat seorang manusia.
Harapannya adalah jangan sampai budaya belis kemudian memutuskan atau bahkan mematikan cinta seseorang. Malanglah hidup tanpa cinta. Dan lebih malang dari itu adalah orang yang memadamkan dan mematikan cinta.
Banyak kisah yang dapat memberi pelajaran bagi kita tentang budaya belis. Kiranya perlu banyak ruang dan waktu yang diberikan untuk mengikat cinta seumur hidup lewat pembahasan dan pemahaman yang mendalam tentang budaya belis ini. Harapannya bahwa budaya ini dapat berubah sedemikian rupa seiring perkembangan jaman dan meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI