Anggapan yang telah lama berakar di benak masyarakat bahwa investasi properti adalah jaminan keuntungan kini tengah diuji secara fundamental. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, kita menyaksikan sebuah fenomena yang sebelumnya dianggap mustahil: penurunan harga properti secara signifikan dan merata di seluruh negeri. Era di mana properti dianggap sebagai aset kebal rugi tampaknya akan segera berakhir, memaksa kita untuk menganalisis kembali apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Akar Masalah: Kombinasi Faktor Pemicu Penurunan
Kondisi pasar properti saat ini bukanlah sekadar perlambatan siklus bisnis biasa, melainkan sebuah koreksi struktural yang mendalam. Sejak 2023 dan diperkirakan akan terus berlanjut hingga pertengahan 2025, pertumbuhan harga properti mengalami perlambatan drastis. Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor yang saling menguatkan, menciptakan sebuah "badai sempurna".
Di satu sisi, kemampuan membeli masyarakat terkikis akibat pendapatan yang tidak sebanding dengan laju inflasi yang terus menanjak. Di sisi lain, tekanan ekonomi global yang disertai dengan kebijakan suku bunga tinggi membuat cicilan dan biaya kepemilikan hunian menjadi semakin berat. Akibatnya, segmen kelas menengah yang selama ini menjadi mesin penggerak utama pasar terpaksa menunda keputusan pembelian, yang menyebabkan pasar properti mengalami stagnasi.
Dampak Nyata di Kota-Kota Besar
Sebagai barometer properti nasional, Jakarta dan kota-kota penyangganya menjadi wilayah yang paling merasakan guncangan ini. Fenomena paling ekstrem bahkan terlihat jelas di pasar apartemen. Tidak sedikit unit apartemen baru yang ditawarkan oleh pengembang di angka Rp 500 jutaan, namun situasinya berbalik total di pasar sekunder. Di sana, unit serupa justru anjlok dan hanya dihargai Rp 200 juta, bahkan ada yang menyentuh angka Rp 100 jutaan hanya untuk segera terjual.
Disparitas harga yang ekstrem ini menunjukkan betapa dalamnya tekanan di pasar properti vertikal dan bagaimana nilai investasi bisa tergerus begitu cepat. Guncangan ini pun tidak hanya terbatas di Jabodetabek; kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Bandung melaporkan adanya tren serupa.
Efek Berantai yang Mengancam Ekonomi Makro
Pelemahan ini terasa nyata di lapangan. Pasar perumahan, baik rumah tapak maupun apartemen, dilaporkan sepi pembeli. Namun, masalahnya lebih dalam dari sekadar minat beli yang menurun. Banyak calon pembeli yang sebenarnya berminat harus mundur karena proses pengajuan akad kredit yang kini sangat sulit untuk disetujui oleh perbankan. Bank menjadi jauh lebih selektif dalam menyalurkan kredit properti, menciptakan hambatan besar bagi setiap transaksi.
Kondisi inilah yang kemudian menciptakan efek berantai (domino effect) yang mengganggu kesehatan perekonomian makro. Para pengembang properti kini dihadapkan pada tantangan ganda: kesulitan menjual stok unit dan penyusutan margin keuntungan akibat melonjaknya biaya material bangunan. Dampaknya menjalar ke sektor perbankan yang menghadapi potensi lonjakan kredit macet (Non-Performing Loans), dan pada akhirnya, berisiko menyumbang angka pemutusan hubungan kerja (PHK).