Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "The Spirit Carries On"

16 Januari 2018   00:41 Diperbarui: 16 Januari 2018   00:51 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https: @novimelani

Mendengar The Spirit Carries On mengingatkan saya tentang saya yang berada di dalam masyarakat. Saya tahu orang-orang membenci saya. Sebagian menyukai saya karena mereka menganggap saya cukup jinak untuk ditaklukan, tapi sebenarnya dari merekalah ketakutan saya berasal. Saya tidak tahu siapa musuh saya, tidak cukup tahu cara menghadapinya, tidak pernah terlahir dengan strategi menghadapi yang tak pernah saya duga.

Saya telah mempelajari banyak hal. Pergi amat jauh dan menjumpai banyak wajah yang tak saya kenal. Saya pikir, besok saya bisa hidup di antara cerita orang-orang yang saya jumpai di sepanjang jalan. Saya tidak takut, andai kata mereka menceritakan saya, keburukan saya.

Saya bukan penipu. Itu yang saya inginkan. Namun jika mereka  menganggap saya seorang pengkhianat saya pikir itu sepadan. Dalam segala hal selalu ada dua kemungkinan. Semua baik-baik saja. Toh, saya juga tetap akan mati, dan dilupakan dalam gagasan pendek mereka. Sebab sepanjang waktu berjalan, itulah yang terjadi.

Setiap kehidupan menghendaki kematian. Itu benar. Namun kalau boleh berharap, jika saya digantikan, saya hanya akan digantikan dengan yang lebih baik dari apa yang telah saya lakukan.

Saya mati. Jiwa saya tak lagi memenuhi ruang dan waktu dan itu akan jauh lebih baik dari semua kebenaran yang seringnya selama ini membuat saya takut.

Saya mati. Saya bukan lagi saya karena setelah itu saya tak memiliki nama atau riwayat identitas untuk membuat diri saya perlu menengok saat dipanggil.  

Saya mati. Tubuh saya disukai cacing yang semasa hidup saya hindari namun kini saya justru membiarkan merera memeluk saya. Saya tak akan melawan. Saya ijinkan mereka menghabisi saya seperti dulu saya pernah menghabisi mereka dengan mata pancing, dengan menginjak kepala mereka karena tak sengaja telah menghalangi langkah saya.

Kenyanglah mereka. Dan sesudah itu saya tahu mereka juga akan mati; dan tubuh mereka, yang sudah memakan tubuh saya, akan sama-sama membusuk di bawah tanah.

Satu pergerakan kecil sangat berpengaruh. Sebuah angin bertekanan akan mengangkat tanah itu dari permukaan membawa debu-debu kecil dan ringan ke atas. Debu itulah butiran abadi sisa-sisa tubuh saya yang selalu tak lebih dari benda kecil yang tak akan lagi bisa dikenali perangainya oleh siapa pun. Oleh siapa saja.

Debu yang berputar-putar di atas tanah kuburan sebelum akhirnya dihempaskan oleh angin ke suatu tempat yang lebih terombang-ambing dari sebuah perhitungan yang tak bisa dihitung.

Debu itu akan terpecah, terbelah, terpencar, dan sisanya akan memilih tinggal. Debu itu adalah saya, dalam bentuk yang terbagi-bagi banyaknya. Debu itu adalah saya, saya yang lain, saya yang lebih lain dari saya yang lain pula.

Matahari sangat terik. Saya adalah debu yang mengambang di atas permukaan langit. Dulu saya pernah membaca kalau manusia itu cuma makhluk kecil di antara alam semesta ini. Yah, sekarang saya menyaksikan sendiri kalimat itu benar-benar adanya. Hanya saja, bedanya, dulu kita melakukannya dengan banyak amat buruk dan rasa takut. Setelah menjadi debu, saya kira, ternyata gambarannya tak semenakutkan itu.

Lihatlah saya. Saya debu, saya tubuh yang dulu terkumpul dari kolaborasi debu-debu dan kini saya terpecah tanpa nama, tanpa identitas.

Saya mengambang, tak pernah takut ketakutan macam-macam. Tak ada rasa dingin yang saya rasakan. Tak ada kesepian, tak ada kebahagiaan, tak ada cita-cita, tak ada yang mendengar.

Lihatlah saya, di sini. Tiba-tiba di sini. Jiwa yang abadi. Melayang-layang di atas rumahmu, menempel di permukaan rambutmu, terhempas di ujung hidungmu; menyelinap di pelupuk matamu; tidak menderita karena merasa tersaingi, tidak bersedih karena patah hati, tidak memiliki tenggat apa pun. Namun sepenuhnya baik-baik saja. Karena saya abadi. Saya debu.

Saya debu.

Dulu, semasa masih hidup, saya amat takut ketika mati nanti saya akan dilupakan oleh orang lain. Tapi kini saya tahu, itu tak masalah lagi. Sebab saya juga sebenarnya tak akan ingat, siapa mereka. Siapa mereka yang ketika saya jumpai sedang melamun, matanya memandang kosong ke udara, seolah-olah ada sesuatu yang menuntut perhatiannya; memandangku dan tiba-tiba menangis.

***

Terinspirasi lagu Dream Theater dengan judul sama, tentang kematian: The Spirit Carries On


Andi Wi

15 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun