Mohon tunggu...
Andi Wahyuddin
Andi Wahyuddin Mohon Tunggu... Administrasi - BPS Kab. Luwu Timur

-

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyikapi Polemik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

22 November 2019   17:35 Diperbarui: 22 November 2019   17:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pertumbuhan ekonomi sering menjadi topik menarik untuk dibahas mulai dari politisi, ekonom maupun akademis. Alasannya yaitu pertumbuhan ekonomi cenderung menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja pemerintah. Pertumbuhan ekonomi positif umumnya menandakan kinerja pemerintah membaik.

Prolog diatas bisa kita buktikan seperti beberapa hari terakhir ini ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju pertumbuhan ekonomi RI triwulan III tahun 2019. BPS menyampaikan bahwa perekonomian RI pada triwulan tersebut tumbuh 5,02% (yoy). Hal ini memicu kecurigaan para ahli ekonom karena adanya kestabilan pertumbuhan di angka 5% dalam beberapa tahun terakhir merupakan hal yang ganjil bagi para ekonom tersebut.

Kecurigaan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, seperti pernyataan yang dikutip dari salah seorang ekonom dunia dari Natixis SA di Hong Kong, Trinh Nguyen, mengatakan bahwa bagaimana ekonomi dapat tumbuh pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama sementara pengeluaran pemerintah lemah, investasi melambat, dan impor juga mengalami pelemahan.

Sebelum beralih ke fakta, perlu kita telusuri beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab mispersepsi antara angka yang dihasilkan dengan dugaan para ekonom tersebut. Hal terpenting yang perlu dibahas yaitu mengenai metode penghitungan. Perlu diketahui bahwa metode penghitungan statistik neraca nasional yang digunakan oleh BPS yaitu dengan menggunakan System National Account (SNA) atau Sistem Neraca Nasional 2008 dimana metode tersebut merupakan standar rekomendasi internasional tentang cara mengukur aktivitas ekonomi yang sesuai dengan penghitungan konvensional berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi. Rekomendasi yang dimaksud dinyatakan dalam sekumpulan konsep, defiisi, klasifikasi, dan aturan neraca yang disepakati secara internasional dalam mengukur item tertentu seperti Produk Domestik Bruto (PDB).

SNA dirancang untuk menyediakan informasi tentang aktivitas pelaku ekonomi dalam hal produksi, konsumsi dan akumulasi harta dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan analisis, pengambilan keputusan, serta pembuat kebijakan. Dengan menggunakan kerangka SNA, fenomena ekonomi dapat dijelaskan dengan baik.

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa metode penghitungan tidak diragukan lagi apalagi penghitungannya dipantau secara independen oleh banyak lembaga, termasuk International Monetary Fund (IMF). Jadi kemungkinan penyebab perbedaan tersebut yaitu adanya fenomena. Adapun fenomena yang paling memungkinkan di antaranya ialah kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi dengan nilai sebesar 56% menyebabkan pertumbuhan ekonomi bertahan di atas 5% dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, impor dalam hal ini barang dan jasa mengalami kontraksi tajam pada kuartal ketiga dengan nilai sebesar -8,61% yang awalnya berada di angka -6,73% menyebabkan ekspor netto berubah positif sehingga mendorong pertumbuhan secara keseluruhan.

Penyebab lain adanya perbedaan antara BPS dan ekonom tersebut yaitu ketersediaan data. Para ahli ekonom tersebut kemungkinan tidak sepenuhnya memiliki data yang dimiliki oleh BPS. Tentu saja, dengan data yang berbeda akan menghasilkan proyeksi dan hasil yang berbeda pula. Selain itu, misinterpretasi bisa dianggap menjadi penyebab lainnya. Adanya misinterpretasi dari para ekonom tersebut kemungkinan disebabkan dari literasi statistik yang belum komprehensif. Mungkin data yang diinterpretasikan hanya bersifat parsial tanpa melihat kondisi sebenarnya.

Pendapat dan kecurigaan mengenai stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir bisa dikatakan kurang tepat. Faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang bergerak moderat di level 5% namun tidak stabil. Terbukti bahwa adanya perlambatan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan bisa dikatakan penurunannya cukup tajam dimana penurunan tersebut dari 5,05% (di kuartal II 2019) menjadi 5,02% di kuartal III 2019.

Sebagai penutup menyikapi hal tersebut, setidaknya kita bisa memetik pelajaran akan pentingnya literasi statistik bagi kita semua. Selain itu, kita juga bisa memahami bahwa data yang kita hasilkan terus menjadi sorotan sehingga bisa menjadi motivasi bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam merilis data. Semoga ke depannya kita semua bisa bersinergi untuk menghasilkan data yang lebih berkualitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun