Dalam hubungan romantis, sering muncul pertanyaan yang membingungkan: mengapa sebagian orang justru memilih untuk menghindari masalah daripada menghadapinya secara langsung? Mengapa perilaku tersebut sering tampak seperti manipulasi atau seolah seseorang "memainkan peran korban"? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji, karena di balik sikap menghindar sering tersembunyi luka emosional yang dalam dan mekanisme pertahanan diri yang kompleks.
Artikel ini berangkat dari refleksi personal yang kemudian diperluas melalui kajian psikologis mengenai avoidant behavior atau perilaku penghindaran. Dengan menelusuri akar teoritisnya, kita dapat memahami mengapa seseorang menghindar dari konflik emosional, bagaimana pola ini terbentuk, serta dampaknya terhadap kualitas hubungan romantis.
Avoidance is not the absence of emotion, but the fear of feeling too much
Konsep Dasar: Apa Itu Perilaku Penghindaran?
Perilaku penghindaran (avoidant behavior) dalam psikologi merujuk pada kecenderungan seseorang untuk menjauh dari situasi yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan emosional, seperti konflik, ekspresi emosi, atau keintiman yang mendalam.
Konsep ini berakar dari Teori Keterikatan (Attachment Theory) yang diperkenalkan oleh John Bowlby (1969) dan dikembangkan oleh Mary Ainsworth (1978). Menurut teori ini, gaya keterikatan yang terbentuk di masa kanak-kanak menjadi pola dasar dalam hubungan dewasa.
Individu dengan avoidant attachment style cenderung tumbuh dalam lingkungan yang kurang responsif terhadap kebutuhan emosionalnya. Mereka belajar bahwa kedekatan dapat melukai, sehingga menjaga jarak emosional menjadi bentuk pertahanan diri. Seperti dijelaskan oleh Mikulincer & Shaver (2007), individu dengan gaya penghindar biasanya menekan kebutuhan akan keintiman dan lebih nyaman dengan otonomi emosional.
Dalam konteks hubungan romantis, perilaku ini dapat muncul dalam bentuk menghindari pembicaraan serius, mengalihkan topik saat konflik muncul, atau menarik diri secara emosional. Bagi pasangan, sikap ini sering diartikan sebagai ketidakpedulian atau manipulasi, padahal pada dasarnya ia adalah strategi pertahanan terhadap rasa takut akan penolakan dan kerentanan.
Akar Psikologis Perilaku Penghindaran
Penelitian menunjukkan bahwa penghindaran sering kali berakar pada pengalaman masa kecil yang penuh penolakan atau pengabaian emosional. Anak yang tumbuh dalam keluarga di mana ekspresi emosi dianggap berlebihan atau tidak pantas akan belajar untuk menekan perasaannya. Akibatnya, mereka mengembangkan keyakinan bawah sadar bahwa menunjukkan emosi berarti memperlihatkan kelemahan.
Selain itu, trauma relasional di masa dewasa, seperti pengkhianatan atau hubungan penuh konflik, juga dapat memperkuat kecenderungan penghindaran. Menurut teori coping mechanism dari Lazarus dan Folkman (1984), perilaku menghindar termasuk dalam kategori emotion-focused coping, yaitu cara seseorang mengatur emosi yang muncul akibat stresor tanpa menyelesaikan akar masalahnya. Penghindaran memberi rasa aman semu, tetapi hanya bersifat jangka pendek.