Cantik¹ /can-tik/ a 1. elok; molek (tentang wajah, muka perempuan); 2. Indah dalam bentuk dan buatannya: meja ini – sekali, - molek 1. Sangat rupawan (tentang orang perempuan); 2. Cantik (bagus) sekali (antara, bentuk, rupa, dan lainnya tampak serasi);
Penulis mengutip secara lengkap dari situs kbbi. Menurut KBBI, pemakaian kata ini diperuntukkan kepada perempuan, juga barang (contoh: meja) serta sebuah kondisi yang dianggap serasi. Jadi, cantik tidak eksklusif seperti kata “ganteng”. KBBI menyatakan, “ganteng” diperuntukkan khusus bagi lelaki. Untuk menggambarkan kondisi rupawan, lelaki harus menciptakan kata khusus.
Yang menarik adalah, bagaimana kata cantik masih bisa disematkan kepada barang atau sebuah kondisi tertentu, sementara kata “ganteng” tidak.
Meski mungkin dalam pemakaiannya, “ganteng” bisa saja ditujukan kepada entitas selain lelaki, seperti: sepeda motor, mobil atau benda lain yang tetap saja secara sadar atau tidak sadar, dianggap diperuntukkan khusus bagi lelaki.
Sebagai bahasa yang gender-neutral, keberadaan kata “ganteng” cukup aneh. Terlepas penggunaan atau asosiasinya di masyarakat, setidaknya, penulis tidak pernah menemui secara langsung penggunaan kata “ganteng” ditujukan kepada perempuan atau benda lain yang diperuntukkan bagi perempuan.
Bagaimana dengan kata “pelacur”? penulis mengutip KBBI, “Pelacur /pe-la-cur/ n. perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal. Lalu, apa sebutan bagi pria yang melacur? Atau “melacur” hanya bisa dilakukan oleh wanita?
Sebenarnya, ini juga bentuk ketimpangan dan ketidaksetaraan. Sosok lelaki dianggap tidak bisa atau tidak ada yang “melacur”. Tapi, tampaknya tidak akan ada lelaki yang menuntut kesetaraan dalam penggunaan kata ini, setidaknya dalam waktu dekat.
Kondisi ketidaksetaraan dalam penggunaan bahasa ini semakin diperparah oleh media. Gramsci, melalui Cultural Hegemony sudah menandai bagaimana institusi sosial juga merupakan alat bagi oppressor.
Ada oppressor, maka pasti ada pihak yang berlawanan, yang di-oppress. Media layaknya sebuah sendok makan bagi oppressor dalam menyuapi masyakarat (pihak yang di-oppress), sendok itu berisi konstruksi sosial yang menurut mereka ideal. Kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung melestarikan posisi mereka sebagai oppressor.
Contohnya, dulu media massa kerap menggunakan kata “menggagahi” sebagai bentuk halus dari kata “pemerkosaan”. KBBI menyebutkan arti kata “menggagahi” adalah menguasai dengan kekerasan. Konteksnya, menggambarkan wanita yang dikuasai oleh pria dengan kekerasan, tidak pernah sebaliknya.
Dari penggambaran ini, sebuah dikotomi sederhana bisa terbentuk dalam persepsi masyarakat, fisik lelaki kuat sedangkan wanita lemah. Padahal nyatanya, penulis yakin banyak wanita yang lebih kuat dari penulis, dalam aspek apapun.