Mohon tunggu...
Andista Tangguh Mandiri
Andista Tangguh Mandiri Mohon Tunggu... Freelancer - Ride the spiral

Quis custodiet ipsos custodes?

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Karena Menjadi Ganteng Itu Eksklusif!

8 Maret 2020   20:53 Diperbarui: 9 Maret 2020   21:07 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lelaki ganteng. (sumber: zoff-foto)

Cantik¹ /can-tik/ a 1. elok; molek (tentang wajah, muka perempuan); 2. Indah dalam bentuk dan buatannya: meja ini – sekali, - molek 1. Sangat rupawan (tentang orang perempuan); 2. Cantik (bagus) sekali (antara, bentuk, rupa, dan lainnya tampak serasi);

Penulis mengutip secara lengkap dari situs kbbi. Menurut KBBI, pemakaian kata ini diperuntukkan kepada perempuan, juga barang (contoh: meja) serta sebuah kondisi yang dianggap serasi. Jadi, cantik tidak eksklusif seperti kata “ganteng”. KBBI menyatakan, “ganteng” diperuntukkan khusus bagi lelaki. Untuk menggambarkan kondisi rupawan, lelaki harus menciptakan kata khusus.

Yang menarik adalah, bagaimana kata cantik masih bisa disematkan kepada barang atau sebuah kondisi tertentu, sementara kata “ganteng” tidak. 

Meski mungkin dalam pemakaiannya, “ganteng” bisa saja ditujukan kepada entitas selain lelaki, seperti: sepeda motor, mobil atau benda lain yang tetap saja secara sadar atau tidak sadar, dianggap diperuntukkan khusus bagi lelaki.

Sebagai bahasa yang gender-neutral, keberadaan kata “ganteng” cukup aneh. Terlepas penggunaan atau asosiasinya di masyarakat, setidaknya, penulis tidak pernah menemui secara langsung penggunaan kata “ganteng” ditujukan kepada perempuan atau benda lain yang diperuntukkan bagi perempuan.

Bagaimana dengan kata “pelacur”? penulis mengutip KBBI, “Pelacur /pe-la-cur/ n. perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal. Lalu, apa sebutan bagi pria yang melacur? Atau “melacur” hanya bisa dilakukan oleh wanita? 

Sebenarnya, ini juga bentuk ketimpangan dan ketidaksetaraan. Sosok lelaki dianggap tidak bisa atau tidak ada yang “melacur”. Tapi, tampaknya tidak akan ada lelaki yang menuntut kesetaraan dalam penggunaan kata ini, setidaknya dalam waktu dekat.

Kondisi ketidaksetaraan dalam penggunaan bahasa ini semakin diperparah oleh media. Gramsci, melalui Cultural Hegemony sudah menandai bagaimana institusi sosial juga merupakan alat bagi oppressor

Ada oppressor, maka pasti ada pihak yang berlawanan, yang di-oppress. Media layaknya sebuah sendok makan bagi oppressor dalam menyuapi masyakarat (pihak yang di-oppress), sendok itu berisi konstruksi sosial yang menurut mereka ideal. Kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung melestarikan posisi mereka sebagai oppressor

Contohnya, dulu media massa kerap menggunakan kata “menggagahi” sebagai bentuk halus dari kata “pemerkosaan”. KBBI menyebutkan arti kata “menggagahi” adalah menguasai dengan kekerasan. Konteksnya, menggambarkan wanita yang dikuasai oleh pria dengan kekerasan, tidak pernah sebaliknya. 

Dari penggambaran ini, sebuah dikotomi sederhana bisa terbentuk dalam persepsi masyarakat, fisik lelaki kuat sedangkan wanita lemah. Padahal nyatanya, penulis yakin banyak wanita yang lebih kuat dari penulis, dalam aspek apapun.

Dari mispersepsi ini, bisa timbul pemikiran bahwa wanita tidak akan menang melawan lelaki karena fisiknya lebih lemah. Maka, agar wanita aman, lebih baik wanita berada di rumah saja. Meski pernyataan penulis di atas cenderung non-sequitur, akan tetapi media punya andil dalam melestarikan mispersepsi seperti ini di masyarakat.

Selain itu, media juga seharusnya tidak perlu menyaring kata “pemerkosaan”. Seperti kata “pembunuhan”, kata “pemerkosaan” merupakan tindak kejahatan berat yang patut dijatuhi hukuman setimpal, media harusnya fokus kepada hal ini. Jika menilik lebih lanjut, kenapa kata itu harus diganti? 

Hemat penulis, media massa berusaha menggunakan kata yang ramah terhadap anak – anak di bawah umur. Tetapi dengan cara mengganti kata “pemerkosaan” menjadi “menggagahi”, media mereduksi artinya menjadi sebatas aktivitas seksual. Sebuah bentuk ketimpangan lagi oleh media, di mana posisi korban “pemerkosaan” secara tidak langsung dikecilkan penderitaannya.

Hal–hal seperti ini memang terkesan remeh – temeh, atau banyak yang menganggap tidak penting. “Ekonomi sulit pak, mending kerja daripada mikir hal kaya gini.” Bener juga, setiap orang memiliki prioritas berbeda dalam hidupnya, dan mungkin menelaah media bukan fokus dan prioritas mereka. 

Tapi, sebagai konsumen, cukup menyenangkan untuk mengetahui opsi dan kemerdekaan dalam mengartikan berita, tidak serta merta percaya atau menolak isinya. Anggap saja ini upaya penulis ntuk menambah opsi dan mengoptimalkan kemerdekaan dalam mengkonsumsi berita dan media massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun