Orang-orang tanpa kewarganegaraan ada di setiap sudut dunia, tetapi penderitaan mereka tetap tidak terlihat. Tanpa status hukum, mereka tidak memiliki perlindungan, tidak dapat mengakses layanan kesehatan, pendidikan, atau pekerjaan, dan kehilangan hak fundamental untuk menjadi bagian dari masyarakat. Keberadaan mereka ditandai dengan pengucilan, bukan karena kesalahan mereka sendiri, tetapi karena ketidakpedulian pemerintah dan komunitas global. Pemerintah dari berbagai negara, meskipun sepenuhnya menyadari krisis ini, sering memilih untuk mengabaikan atau bahkan memperburuk masalah. Ketiadaan kewarganegaraan bukan hanya kegagalan administratif, ini sering menjadi strategi politik yang digunakan untuk meminggirkan komunitas tertentu, mencabut hak mereka, dan menghapus mereka dari sejarah nasional. Meskipun ada konvensi internasional yang dirancang untuk mencegah ketiadaan kewarganegaraan, penegakan aturan ini tetap lemah, dan jutaan orang terus terjebak dalam ketidakpastian hukum.
Senjata Politik Ketiadaan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan telah lama digunakan sebagai alat untuk mengecualikan kelompok tertentu, menyangkal hak-hak mereka berdasarkan identitas politik dan etnis. Di Myanmar, pemerintah secara sistematis menghapus keberadaan Rohingya dari kerangka hukum melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, membuat lebih dari satu juta orang tidak memiliki kewarganegaraan. Di India, Pendaftaran Nasional Warga Negara (NRC) 2019 di Assam sempat mendapatkan protes besar-besaran karena secara efektif menjadikan 1,9 juta orang sebagai individu tanpa negara dalam semalam. Pemerintah mengklaim hanya menegakkan hukum, tetapi mayoritas dari mereka yang terdampak merupakan Muslim penutur bahasa Bengali, mengungkapkan bias politik dan agama yang jelas. Di Republik Dominika, keputusan pengadilan tahun 2013 mencabut kewarganegaraan lebih dari 200.000 orang keturunan Haiti, suatu langkah yang secara luas dikutuk sebagai pembersihan etnis yang dilegalkan.
Ketiadaan kewarganegaraan bukan hanya akibat dari kegagalan sistem, tetapi juga dijadikan sebagai alat penindasan. Di Bahrain, pemerintah secara sistematis mencabut kewarganegaraan para pembangkang politik, meninggalkan ratusan orang tanpa identitas sebagai bentuk hukuman. Di Kuwait, komunitas Bidun tetap tidak memiliki kewarganegaraan meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi, dengan status mereka digunakan sebagai alasan untuk terus menolak akses mereka terhadap hak-hak dasar. Di Malaysia, puluhan ribu orang keturunan India tetap tidak memiliki kewarganegaraan, akibat dari celah hukum kolonial dan kelambanan pemerintah yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Biaya Kehidupan Tanpa Kewarganegaraan
Dampak dari ketiadaan kewarganegaraan sangatlah menghancurkan, memengaruhi setiap aspek kehidupan dari yang mengalaminya. Di banyak negara, pendidikan merupakan hak yang tidak dapat diakses oleh anak-anak tanpa kewarganegaraan. Di Malaysia, ribuan anak yang lahir di negara itu dilarang bersekolah karena mereka tidak memiliki dokumen kewarganegaraan, memaksa mereka ke dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung. Di Thailand, hampir setengah juta orang tanpa kewarganegaraan menghadapi keterbatasan untuk mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan formal. Pendidikan bukan hanya hak istimewa---ini adalah hak dasar yang secara sistematis dirampas dari mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Pelayanan kesehatan juga menjadi hak yang tidak dapat diakses oleh orang tanpa kewarganegaraan. Di Lebanon, puluhan ribu orang tanpa kewarganegaraan tidak dapat mengakses rumah sakit, dengan perawatan medis yang menyelamatkan nyawa ditolak karena mereka tidak memiliki dokumen identitas. Pandemi COVID-19 semakin memperjelas kenyataan kejam ini, ketika seluruh komunitas tanpa kewarganegaraan, termasuk lebih dari 500.000 pengungsi Rohingya di India, dikecualikan dari program vaksinasi nasional. Penolakan terhadap layanan kesehatan bagi mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan bukanlah konsekuensi yang tidak disengaja, melainkan hasil langsung dari kebijakan yang mengutamakan dokumentasi daripada nyawa manusia.
Tanpa kewarganegaraan, individu menjadi sasaran eksploitasi dan penyalahgunaan. Di Kenya, komunitas Pemba yang tetap tidak memiliki kewarganegaraan meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi, menghadapi pelecehan polisi dan pengusiran paksa secara berkala. Di negara-negara Teluk, para pekerja migran tanpa kewarganegaraan seringkali terjebak dalam kondisi kerja yang eksploitatif, dengan tidak adanya perlindungan hukum yang dapat mereka andalkan. Perempuan dan anak-anak tanpa kewarganegaraan menjadi kelompok yang paling rentan, tidak jarang menjadi korban jaringan perdagangan manusia yang berkembang dalam ketidakjelasan hukum.
Kegagalan Lembaga Global