Mohon tunggu...
Andi Ronaldo Marbun
Andi Ronaldo Marbun Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks Beras Indonesia: Anti-Komunisme, Intervensi Ekonomi, dan Perjuangan untuk Swasembada Pangan

1 Maret 2024   18:50 Diperbarui: 1 Maret 2024   21:55 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani dalam Panen Padi (KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI via KOMPAS.id)

Beras lebih dari sekadar biji-bijian di Indonesia; beras adalah landasan budaya, simbol keberlangsungan hidup, dan medan pertempuran politik. Perjuangan bangsa untuk menyeimbangkan harga beras yang terjangkau dengan keinginan untuk swasembada mengungkapkan paradoks yang relatif unik. 

Anti-komunisme Indonesia yang mengakar, lahir dari trauma sejarah, secara tidak sengaja telah menyebabkan adopsi kebijakan yang menyerupai unsur-unsur model ekonomi komunis yang ditolak sejak lama dengan keras. Kontradiksi ini memainkan peran penting dalam melambungnya harga beras yang membebani jutaan rakyat Indonesia di tengah hiruk-pikuk politik pasca-pemilu.

Hantu Komunisme dan Warisan Intervensi

Pembersihan kekerasan tahun 1965-66, yang menargetkan orang-orang yang diduga dan simpatisan komunis, tetap menjadi tanda yang tak terhapuskan dalam memori kolektif dari masyarakat Indonesia. Komunisme menjadi terkait erat dengan kekacauan sosial, ketidakstabilan, dan sentimen anti-agama. Hal ini juga sangat membentuk arah politik Indonesia, mengarah pada ketidakpercayaan yang mendarah daging terhadap perencanaan ekonomi terpusat dan penolakan kuat terhadap apa pun yang dianggap mirip dengan ideologi komunis. 

Akan tetapi, keinginan untuk swasembada, khususnya di sektor produksi beras yang vital, membawa gema ekonomi terencana yang sering dikaitkan dengan rezim komunis. Ambisi ini bermanifestasi dalam berbagai intervensi pemerintah di pasar beras, didorong oleh ketakutan akan ketergantungan pada sumber makanan eksternal dan keyakinan bahwa negara harus memainkan peran utama dalam memastikan ketahanan pangan.

Untuk melindungi petani beras dalam negeri, Indonesia memberlakukan pembatasan impor yang cukup ketat, tetapi bukan berarti impor tidak pernah menjadi opsi dari pemerintah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk secara artifisial membuat beras lokal lebih kompetitif dan seolah-olah mendorong produksi dalam negeri yang lebih besar. Meskipun bertujuan untuk memperkuat sektor pertanian, pembatasan ini memiliki serangkaian konsekuensi yang tidak diinginkan. 

Dengan melindungi petani dari persaingan internasional, dorongan untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi sangat berkurang. Produksi beras dalam negeri tetap relatif tidak efisien, dan akibatnya, biayanya tetap tinggi. Lebih lanjut, pembatasan impor menciptakan kerentanan terhadap guncangan pasokan di Indonesia. Setiap gangguan pada produksi dalam negeri, seperti yang disebabkan oleh kekeringan, banjir, atau wabah hama, akan melambungkan harga karena pasokan yang dibatasi secara artifis semakin berkurang.

Subsidi yang Salah Kaprah dan Ironi Dogma Ekonomi

Fokus pemerintah Indonesia pada swasembada juga meluas pada subsidi besar-besaran untuk faktor produksi pendukung dalam sektor pertanian, terutama pupuk dan pestisida. Meskipun dirancang untuk menurunkan biaya bagi petani, subsidi ini sering kali terbukti kontraproduktif. Alih-alih menguntungkan para petani yang dituju, subsidi ini justru kerap melapisi kantong para tengkulak dan memicu distorsi pasar. 

Penggunaan bahan kimia yang berlebihan, sebagian didorong oleh biayanya yang rendah secara artifisial, menimbulkan risiko jangka panjang bagi kesuburan tanah dan kualitas air, merusak keberlanjutan produksi beras yang seharusnya didukung oleh subsidi tersebut. Lebih lanjut, ironi terbesar terletak pada kenyataan bahwa Indonesia, dalam penolakannya yang keras terhadap komunisme, tanpa sadar mencerminkan beberapa praktik ekonominya yang paling merusak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun