Mohon tunggu...
Andi Rahmanto
Andi Rahmanto Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara

Hanya seorang anak manusia yang ingin hidup bahagia dengan caranya sendiri. email: andirahmanto2807@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dalam Berpuisi

4 April 2018   16:09 Diperbarui: 4 April 2018   16:31 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Keystone/Getty Images

Indonesia adalah negara demokrasi. Dengan sistem demokrasi ini, setiap orang memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dan pemikirannya. Kemerdekaan berbicara ini tentu sangat baik untuk mengembangkan iklim demokrasi itu sendiri, karena berguna untuk menambah wawasan, memperkuat ide serta gagasan, hingga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun kemerdekaan berbicara ini harus disertai dengan tanggung jawab. Tidak bisa seseorang menghina orang lain baik itu fisik, keyakinan, suku, atau rasnya dengan alasan haknya untuk berbicara. Ketika seseorang berbicara, harusnya dia tidak sekedar berpikir tentang haknya, tapi juga memikirkan tentang hak orang lain yang harus dijaga martabat dan kehormatannya. Seseorang berbicara membutuhkan orang lain untuk mendengarkannya, sehingga isi pembicaraan sudah sepantasnya tidak menyinggung satu sama lain. 

Oleh sebab itu, hak mengemukakan pendapat sifatnya terbatas, tidak mutlak, yaitu terbatas pada hal-hal yang sifatnya tidak menyinggung lawan bicara. Jika isi pembicaraan menyebabkan lawan bicara tersinggung atau terganggu, maka lawan bicaranya memiliki hak untuk menggugatnya ke pihak yang berwajib.

Di era demokrasi yang sangat liberal ini, seseorang seolah-olah begitu mudahnya merendahkan hak orang lain. Setiap orang berhak untuk menganut suatu keyakinan dan beribadah sesuai keyakinannya itu. Hak itu pun dilindungi oleh konstitusi. Ketika seseorang memeluk suatu keyakinan, maka akan ada simbol yang harus ditampakkan. 

Meskipun terlihat hanya sekedar simbol, namun jika dipahami lebih mendalam, simbol itu mengandung filosofi yang sangat dalam sehingga bernilai ibadah di dalam suatu keyakinan. Jadi, simbol itu sudah seperti kulit tubuh yang bila dikuliti akan melukai daging serta mengucurkan darah. Oleh karenanya, jangan sampai seseorang mengomentari sesuka hati suatu simbol dalam keyakinan tertentu.

Ada orang yang menganut suatu keyakinan karena bapak, kakek, hingga moyangnya menganut keyakinan itu. Ada juga orang yang menganut suatu keyakinan karena konstitusi negara mengharuskan warga negara memeluk satu keyakinan. Namun ada pula orang yang memeluk suatu keyakinan melalui proses pencarian dan pembelajaran. Bagaimana pun proses seseorang memilih keyakinannya, ketika dia memutuskan secara sadar dan yakin untuk memilih keyakinan itu, maka keyakinan itu menyatu dengan identitas dirinya. Oleh sebab itu, jika ada seseorang merendahkan suatu keyakinan, maka secara langsung telah merendahkan para pemeluknya.

Bila ada seorang tokoh yang berpuisi dengan membandingkan dua simbol dari dua keyakinan yang berbeda, kemudian ia menyanjung salah satu simbol sementara merendahkan simbol yang lain, maka tokoh itu telah salah mengaplikasikan haknya dalam mengemukakan pendapat. Ia bebas berpuisi, namun puisi yang isinya merendahkan simbol dari suatu keyakinan adalah "ngapusi" (bohong). Jika ia meyakini bahwa keyakinannya adalah yang paling benar, itu adalah haknya. Dan setiap pemeluk suatu keyakinan pasti meyakini keyakinannya yang terbenar. Namun ketika dia berpuisi dengan membanding-bandingkan keyakinannya dengan keyakinan orang lain, kemudian dibacakan di depan publik, dan ditonton oleh banyak orang yang berbeda keyakinan dengannya, apakah pantas puisi itu dibacakan?

Perlu diingat bahwa Sang Proklamator, Bung Karno, berusaha untuk menyatukan tiga ideologi, yaitu nasionalis, agama, dan komunis (nasakom) agar seluruh kalangan yang menganut tiga ideologi itu dapat berjalan beriringan dan harmoni dalam memajukan pembangunan bangsa, sekaligus mencegah disintegrasi bangsa.

Oleh karenanya, pada saat ini, setiap orang harus bijaksana dalam menggunakan haknya dalam mengemukakan pendapat di depan umum. Segala pendapatnya harus dapat dipertanggungjawabkan serta tidak menyinggung hak orang lain terutama berkaitan dengan suatu keyakinan. Apalagi di tengah situasi bangsa yang sedang panas-panasnya dengan isu SARA seperti saat ini, maka jangan mencoba-coba untuk memercikan bara, karena dapat berpotensi membakar amarah masyarakat. Seorang tokoh harusnya berbicara yang bijak serta menentramkan, sehingga rakyat yang mendengarkannya akan merasakan kesejukan di dalam hatinya.

Demokrasi Dalam Berpuisi

Banyak cara yang dipakai seseorang untuk mengemukakan pendapatnya. Bisa dengan menulis di koran, majalah, atau buku. Cara lain bisa melalui pidato, kuliah, atau ceramah. Bahkan untuk zaman modern ini seseorang dapat berpendapat dengan membuat status di media sosial, seperti facebook, twitter, atau Instagram. Namun adakalanya seseorang ingin menyampaikan pendapatnya dengan cara berpuisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun