Bermula ketika kamu bangun tidur, tanganmu yang baru mendapat kesadaran pada gilirannya segera mulai meraba-raba sesuatu yang sangat penting, bahkan tidak kalah penting dari seberapa penting aktivitas yang harus anda jalani hari ini. Kamu berhasil meraihnya, menyalakannya, dan tanpa pikir panjang membuka platform favorit yang tak bukan adalah instagram atau tiktok. Wajah kusam kamu yang terpancarkan cahaya gadget mulai merasakan adanya kejanggalan setelah menggulir video demi video maupun foto dari akun yang kamu follow.
Beragam konten langsung merasuk ke otakmu yang masih segar dan membuat efek distorsi yang tidak pernah anda sadari ketika kemudian menjalani hari. Perlahan kamu sadar, kamu merasa sedikit tidak nyaman, mengganjal, dan terasa terinterupsi dengan konten konten berita politik dan hukum yang bobrok, tentang ekonomi yang masuk masa krisis, konflik dan drama dimana mana, kesewenang-wenangan pihak penguasa dan lainnya yang menggiringmu ke momen dimana itu dapat berdampak berat secara langsung bagi hidupmu.
Jika anda merasakannya, selamat datang di era hiperealita. Konsep yang dipopulerkan oleh filsuf Prancis, Jean Baudrillard, ini pada dasarnya adalah kondisi di mana batas antara yang nyata (realitas) dan yang direkayasa (simulasi) menjadi kabur, bahkan hilang sama sekali. Dalam dunia hiperealita, representasi atau simbol dari sesuatu menjadi lebih penting dan lebih "nyata" daripada hal aslinya. Jika diibaratkan seperti sebuah peta yang dianggap lebih akurat dan lebih penting daripada wilayah geografis yang digambarkannya.Â
 Media sosial telah menjadi ruang publik di mana persepsi dan opini dibangun oleh para influencer, tokoh public figure yang memegang ranah kuasa untuk mengontrol algoritma menggunakan representasi yang dilebih-lebihkan. Peter L. Berger dan Thomas Luckman, dalam buku mereka  Social Construction of Reality (1966), mengemukakan bahwa masyarakat diciptakan oleh manusia dan interaksi antarmanusia. Menurut teori ini, realitas bukanlah sebuah entitas yang objektif dan tetap, melainkan sebuah fenomena yang subjektif dan dibangun secara sosial. Individu berpartisipasi dalam proses sosial yang berkelanjutan sesuai dengan perspektif mereka untuk menciptakan dan menafsirkan makna serta struktur dunia di sekitar mereka. Seiring waktu, kelompok sosial dan individu yang berinteraksi dalam suatu sistem akan menciptakan konsep-konsep mengenai tindakan satu sama lain
Hiperealita tidak hanya berhenti pada gaya hidup dan citra diri, tetapi juga meresap ke dalam isu-isu yang lebih krusial seperti berita dan politik. Di media sosial, sebuah meme, potongan video viral, atau utas cuitan yang emosional seringkali lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada laporan investigasi yang mendalam. Pada praktiknya, platform seperti TikTok, Facebook, dan YouTube mendorong kita untuk mengubah kehidupan sehari-hari menjadi sebuah highlight reel. Kita cenderung men-cut scene yang tidak diinginkan, menambahkan musik yang sesuai dan penuh engagement, dan mempostingnya seakan representasi dari hasil editan tersebut seperti nyata. Lambat laun, versi yang telah didistorsi ini bisa terasa lebih alami dan nyata dari kenyataan pada aslinya yabg pada tujuan akhirnya hanyalah mengejar angka likes dan penonton semata.
Media memegang peran kunci dalam proses yang disebut implosion of meaning. Secara khusus, media menciptakan tekanan dari banjir informasi. Ada sebuah ungkapan populer di internet yang berbunyi, "mendapatkan informasi dari internet itu seperti minum langsung dari selang pemadam kebakaran". Bagi Baudrillard, hal ini pada akhirnya menghancurkan tatanan sosial. Kehidupan sosial mengalami entropi. Ia meledak ke dalam. Esensinya, bentuk media itulah yang memiliki efek ideologis, bukan konten spesifiknya. Konten informasi dari media hanyalah pelengkap dari fungsi utamanya yaitu menciptakan konsensus dengan cara melumpuhkan pikiran kritis. Pengetahuan tentang sebuah peristiwa sebagai bagian dari kehidupan nyata dicegah, sehingga perlahan menciptakan atmosfer kebodohan. Konsensus ini bekerja dengan menyingkirkan pandangan lain yang lebih radikal dan mengerahkan segala cara untuk menghancurkannya.
Pada akhrinya, yang kita bisa lakukan tak lebih dari sekedar bijak, kritis dalam memilih dan memilah apa yang baik, apa yang real, apa yang sesuai dengan fakta sebenarnya, dan apa yang tidak sesuai. Agar kita tidak terus-terusan terkecoh dengan berbagai konten konten tersebut, melalui fenomena hiperealita ini kita dapat membuka peluang dan kesempatan untuk mengenal diri sendiri dan memahami dalam kondisi dan realita seperti apa kita hidup. Kita tidak bisa membiarkan hidup kita  semerta merta dikontrol oleh bias dan buasnya arus tekanan informasi yang disebabkan oleh affiliator, content creator yang hanya mengejar target jumlah dan engagement penonton.
 Referensi