Karena merasa risau dan berbagai pertimbangan lainnya, kemudian saya pun pindah ke Batam, setelah mendapat tiket pesawat dari Eknas Walhi di Jakarta.
Di Batam saya tinggal di kawasan kumuh. Kampung Aceh Muka Kuning dengan Rumah Liar (Ruli). Pemerintah di sana kerap memberikan label sebagai kawasan sarang narkoba. Memang benar! Realitanya demikian.
Setelah dua bulan di Batam, lalu saya mendaftar sebagai reporter Batam TV. Alhamdulillah diterima dan bekerja. Saya satu-satunya jurnalis yang tinggal bersama pelarian dari Aceh di sarang mafia.
Sekamar dengan Panglima Sagoe sebuah wilayah di Kabupaten Pidie. Dia sakit! Kaki dan pahanya tertembak peluru aparat dalam sebuah pertempuran di hutan pedalaman Pidie. Keluar dari Aceh untuk pengobatan karena mengalami masalah serius dengan kesehatannya.
Tsunami Aceh
26 Desember 2004. Aceh dilanda tsunami terbesar dalam sejarah. Ratusan ribu orang meninggal. Ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Aceh menangis!
Informasi itu dengan cepat menyebar di Batam. Saya setengah tidak percaya dan di luar nalar manusiawi bahwa ada bencana sedahsyat itu. Tapi Allah punya kehendak lain.
Kami dan beberapa pemuda kemudian membuat rapat sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian. Mengambil tindakan apa yang bisa dibantu meski kecil. Saat itu yang tergambarkan dalam pikiran adalah kekalutan.
Membuka posko-posko penerimaan bantuan dari masyarakat Batam solusi terbaik. Apapun bentuk bantuan, pakaian bekas, indomie dan dana boleh dikumpulkan. Setelah terkumpul lalu dikirim ke Aceh.
Tiga bulan setelah tsunami, saya kemudian memutuskan untuk kembali ke Aceh. Tanpa KTP merah putih. Saya masih menggunakan KTP atasnama Heri Setiawan, waga Lampung.