Mohon tunggu...
Andi Annas
Andi Annas Mohon Tunggu... MarComm Manager -

Seorang warga negara Indonesia yang lahir, tumbuh, dan bekerja di Jakarta; seorang MarComm Manager di sebuah newly-developed local-based Digital Travel Services di Jakarta juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Bertanggung Jawab sedari Kecil

21 Januari 2016   19:08 Diperbarui: 21 Januari 2016   19:08 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si anak tersebut melihat gue dan terdiam sebentar. Gue rasa yang punya warung pasti lagi dengerin musik dengan headset sehingga dia sendiri tidak sadar.

Yang terjadinya berikutnya sungguh ironis. Si anak tersebut langsung turun dari kardus yang dia injak, mengambil kedua sendalnya, dan lari menjauh tanpa alas-kaki..
fyi, rumah si anak ini hanya berbeda sekitar 3-4 rumah dengan warung tersebut.

Betapa takutnya si anak tersebut, sehingga dia harus lari daripada repot membereskan sedotan-sedotan yang masih bisa diselamatkan (sedotan dengan plastik pembungkus yang masih utuh) dan meminta maaf ke pemilik warung.

Siapa yang salah kalau seperti ini? Apakah sebegitu beratnya untuk meminta maaf atas suatu kesalahan kecil? Apakah sebegitu susahnya bertanggung jawab atas perbuatan kita?

Salah ngga gue, kalau gue bilang yang bersalah di kasus kaleng sedotan itu adalah orang tua dari anak tersebut?

Bukan apa-apa. Gue sering sekali melihat orang tua (terutama kaum ibu, dan sebagian dari golongan menengah ke bawah) akan memarahi anaknya apabila hal seperti kasus kaleng sedotan itu terjadi di depan mata si orang tua. Setelah mengomel, sang orang tua biasanya hanya akan menarik anaknya menjauh dari lokasi, dan sering kali tidak mengucapkan apapun ke pihak yang dirugikan (well, kalau pun minta maaf biasanya hanya ala kadarnya saja dan itupun si orang tua yang minta maaf dan bukan si anak).


Karena reaksi orang tua yang seperti itu, (menurut gue) membuat si anak merasa takut karena telah berbuat kesalahan kecil. Kesalahan kecil yang membuat dia dimarahi seakan-akan itu adalah suatu kesalahan besar. Dan kemudian, si anak pun tidak melihat contoh/anjuran untuk meminta maaf. Kalaupun ada, yang terjadi adalah si anak seperti dipaksa untuk meminta maaf dengan diiring omelan dari si orang tua.

Hal ini (lagi-lagi menurut gue), memberikan pelajaran ke si anak tersebut bahwa minta maaf itu ngga enak, dan berbuat kesalahan itu hanya akan memberikan masalah ketika ia harus bertanggung jawab. Pada akhirnya, tabiat seperti ini pun berakar sampai mereka bertambah usia. Dan yang terjadi berikutnya adalah kasus-kasus seperti 2 kasus yang tadi gue contohkan di atas.

Atau bisa juga dilihat, bagi si anak, bahwa meminta maaf itu tidak perlu. Toh, orang tua yang akan meminta maaf dan menanggung kesalahan apapun yang dia perbuat. Apakah itu suatu ajaran yang baik untuk si anak? Bagaimana kalau akhirnya hal itu tertanam, dan di saat dia besar; dengan mudahnya dia melemparkan tanggung jawab atas kesalahannya kepada orang lain?

Hmm...

Entahlah...

(kredit foto utama: teruskan.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun