Mohon tunggu...
Andi Affandil Haswat
Andi Affandil Haswat Mohon Tunggu... Mahasiswa

Kusimpan, agar kelak dibaca oleh putra putriku Agar mereka mengerti kemana bapaknya berpihak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kotak Pandora Kodifikasi Undang-Undang Pemilu

6 Oktober 2025   08:24 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:24 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kereta demokrasi/sumber syakur animasi

Evolusi hukum pemilu di Indonesia mencerminkan pasang surut demokrasi kita.

Pemilu 1955: Pemilu pertama yang menggunakan UU No. 7 Tahun 1953. Pemilu ini dianggap paling demokratis dengan sistem proporsional dan multi-partai. Masa Orde Baru: Regulasi pemilu didominasi oleh kekuasaan eksekutif. UU No. 15 Tahun 1969 dan UU lainnya dibuat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, membatasi partai, dan memenangkan Golkar. Konsep "asas tunggal" juga diterapkan, yang membatasi ideologi partaii. Era Reformasi: UU No. 12 Tahun 2003: Awal dari pemilu langsung, demokratis, dan multipartai. Munculnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen. Pemilu Serentak 2019: Momen penting dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 2017. Undang-undang ini menyatukan UU Pilpres, Pileg, dan Pilkada yang sebelumnya terpisah. Ini adalah langkah awal menuju kodifikasi.

Wacana kodifikasi ini menghadapi berbagai tantangan, baik secara politis maupun substansi. Ketidakstabilan Politik: Setiap pemilu membawa isu baru, seringkali memicu revisi undang-undang. Proses kodifikasi membutuhkan konsensus politik yang kuat dan jangka panjang. Penyesuaian dengan Perkembangan Teknologi: Kodifikasi harus fleksibel untuk mengakomodasi teknologi baru, seperti e-voting atau sistem rekapitulasi online. Kompleksitas Regulasi: Menyatukan UU Pemilu (untuk Pileg dan Pilpres) dengan UU Pilkada sangat rumit karena karakteristiknya berbeda. Pilkada menyangkut otonomi daerah, sementara Pemilu Nasional adalah urusan pusat.

Konsekuensi, Kepastian Hukum: Jika berhasil, kodifikasi akan menciptakan sistem hukum yang lebih stabil, transparan, dan mudah dipahami oleh publik. Ini akan mengurangi tumpang tindih aturan. Konflik Kepentingan: Proses penyusunan kodifikasi berpotensi menjadi arena tarik-ulur kepentingan politik, di mana partai-partai besar akan berusaha memasukkan pasal-pasal yang menguntungkan mereka. Kekhawatiran "Lock-in Effect": Jika undang-undang terlalu kaku, sulit untuk direvisi. Ini dapat menghambat adaptasi terhadap perubahan sosial dan politik.

Beberapa pasal dalam UU Pemilu selalu menjadi polemik dan seringkali diubah, bahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold): Pasal yang paling sering diperdebatkan. Pada Pemilu 2019, ambang batas sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara nasional memicu perdebatan sengit. Para kritikus berpendapat pasal ini membatasi pilihan calon dan menguntungkan partai besar. Sistem Pemilu (Proporsional Terbuka vs. Tertutup): Debat ini berulang kali terjadi. Sistem terbuka (seperti yang digunakan saat ini) memungkinkan pemilih memilih calon, bukan hanya partai. Namun, sistem ini dianggap memicu biaya politik tinggi dan politik uang. Sebaliknya, sistem tertutup dianggap lebih efisien namun kurang demokratis karena pemilih tidak dapat memilih langsung. Larangan Mantan Koruptor Ikut Pemilu: Aturan ini selalu menjadi perdebatan. Sebagian pihak berpendapat ini adalah cara efektif membersihkan politik. Namun, pihak lain menganggapnya melanggar hak asasi politik individu yang telah menjalani hukuman.

Saran dan Masukan Konstruktif

Kodifikasi UU Pemilu adalah sebuah keniscayaan. Namun, implementasinya harus dilakukan dengan hati-hati dan partisipasi publik yang luas.Prioritaskan Konsensus: Penting untuk membangun konsensus yang kuat antara partai politik, masyarakat sipil, dan akademisi sebelum merancang undang-undang. Fleksibilitas Regulasi: Kodifikasi harus fleksibel. Pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan kontroversi harus diatur dalam aturan yang bisa disesuaikan, atau dalam Peraturan KPU yang lebih mudah direvisi. Fokus pada Prinsip Dasar: Kodifikasi harus memperkuat prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, jujur, dan adil, bukan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pelibatan Publik: Proses penyusunan harus transparan dan melibatkan masyarakat sipil secara aktif. Ini akan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.

Jika semua pihak mampu mengatasi tantangan ini, kodifikasi UU Pemilu dapat menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, menciptakan sistem hukum yang kuat dan berkelanjutan. Namun, jika tidak, upaya ini justru berisiko menciptakan tumpukan masalah baru dan potensi konflik politik di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun