Mohon tunggu...
Andarbeny
Andarbeny Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Merajut pikiran lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suara-suara Merdu dan Sumbang 100 Hari Kepemimpinan Anies-Sandi

25 Januari 2018   23:22 Diperbarui: 25 Januari 2018   23:27 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat pada tanggal 24 Januari 2018 kinerja gubernur DKI Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memasuki 100 hari masa kepemimpinan. Hal ini tentu disambut dengan beragam respon dari masyarakat, ada yang bersorak-sorak, antusias, pro dan kontra, menghardik hingga apresiasi. Tak mudah memang menjadi orang nomor satu di DKI, bisa dibilang kalau bagus saja ada yang sirik, kalo gitu-gitu aja dibilang gak ada kemajuan apalagi kalo mengalami kemunduran? Bisa jadi bulan-bulanan netizen tiap hari.Tapi ya tidak apa, karena kebebasan berpendapat dijunjung tinggi hal itu sah-sah saja, lagipula wajar kan pepatah bilang semakin tinggi pohon semakin kencang angin berhembus.

Pada masa kampanye, Anies-Sandi merupakan rival petahana Ahok-Djarot yang memiliki program-program kontroversial. Dalam masa 100 hari kepemimpinan, gubernur Anies Sandi memiliki tiga fokus utama yang pertama adalah rekonsiliasi, konsolidasi birokrasi pemprov DKI Jakarta dan yang ketiga adalah memulai program kerja prioritas tiga bidang yang mencakup peningkatan kualitas pendidikan, pembukaan lapangan kerja dan biaya hidup yang terjangkau.

Pada tahap pertama yakni rekonsiliasi, Anies-Sandi terjun langsung ditengah-tengah berbagai golongan warga untuk memastikan iklim sosial, ekonomi dan politik berangsur kondusif pasca pilkada yang cukup panas kemarin. Bagian pertama ini terlihat abu-abu, karena tak terlihat jelas apa bentuk rekonsiliasi yang dilakukan hingga apa target capaian yang  ingin dihasilkan dari bagian rekonsiliasi ini. Tak ada pula tolak ukur yang pasti dari rekonsiliasi yang dilakukan oleh Anies-Sandi ini.

Pada bagian kedua yakni konsolidasi birokrat Pemprov DKI, Anies-Sandi terlihat tak sulit untuk dekat dengan berbagai jajaran SKPD dan birokrat lainnya di lingkungan Pemprov. Hal ini tentu baik untuk mengembangkan iklim kerja yang kondusif di lingkungan Pemprov. Pola komunikasi yang baik adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Anies-Sandi dalam melakukan konsolidasi pada jajaran birokrat Pemprov DKI. Meskipun merupakan kelebihan, hal ini dapat menjadi celah tersendiri bagi kepemimpinan Anies-Sandi. 

Pada kepemimpinan Anies-Sandi, orang-orang yang dulu menjadi staf Ahok dan memiliki masalah dengan Ahok terlihat kembali muncul ke permukaan. Salah satunya adalah Rustam Efendi, Walikota Jakarta Utara pada era Ahok yang mengundurkan diri karena merasa tersinggung atas beberapa ucapan Ahok. Kini Rustam telah diangkat oleh Anies menjadi Kepala Biro adminstrasi Sekda. Sah-sah saja sebetulnya selama orang-orang yang diangkat itu memiliki kompetensi yang mumpuni dan tidak dijadikan sebagai momentum untuk merekrut lawan pihak musuh untuk memperkuat posisi.

Pada fokus bagian ketiga Anies-Sandi terlihat mulai melakukan tahapan awal untuk melaksanakan program seperti ground Breaking hunian DP 0 rupiah yang akan dibangun di Jakarta Timur, melakukan pendataan penerima KJP Plus dan pelaksanaan program OK OCE. Namun, khusus untuk fokus pelaksanaan program tiga bidang ini banyak tak sesuai dengan ekspektasi di benak masyarakat. Seperti DP rumah 0 rupiah yang ternyata tak ubahnya adalah rumah susun yang digadang-gadang oleh Anies-Sandi dengan sebutan rumah lapis yang tak jauh berbeda dengan konsep rusunawa yang dibangun oleh Gubernur DKI sebelumnya. Bagi sebagian masyarakat mendengar kata rumah berarti hunian horizontal atau rumah tapak bukan hunian vertikal yang biasa kita sebut rumah susun.

Ragam Kontroversi dalam 100 Hari Kepemimpinan Anies-Sandi

Ragam pro kontra santer terdengar dalam 100 hari masa kepemimpinan Anies-Sandi. Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah tentang penutupan jalan Jatibaru, Tanah Abang untuk dijadikan tempat berjualan PKL. Kebijakan ini jelas mendapat protes keras dari berbagai elemen masyarakat, elite hingga pihak Dishub dan Kepolisian. Logika sederhananya adalah, jalan adalah sarana publik yang juga dibiayai oleh publik melalui pajak yang tentunya harus dapat mengakomodir kepentingan publik. Lalu apa jadinya jika pejalan kaki, pengemudi motor, supir angkutan umum, tukang ojek dan orang-orang yang harusnya dapat hilir mudik di jalan yang katanya terkenal kemacetannya disebabkan oleh pejalan kaki ini harus mengalah pada pedagang kaki lima yang mengokupasi separuh badan jalan yang harusnya dapat digunakan oleh publik untuk bermacet-macetan ria? 

Tentu tak salah jika suara-suara sumbang diluar sana mengatakan bahwa Anies-Sandi lebih berpihak pada PKL dan Lulung dibanding jutaan pengguna jalan lainnya. Meskipun disediakan bus Transjakarta namun tetap saja masih banyak pihak-pihak yang dirugikan karena tidak bisa mengakses jalan dengan kendaraan seperti warga yang tinggal di pemukiman Jatibaru yang ditutup jalannya untuk kendaraan tentu mengalami kesulitan saat hendak keluar pemukiman menggunakan kendaraan.

Salah satu kebijakan lain yang cukup kontroversial adalah perobohan pagar monas agar warga dapat masuk dan menginjak rumput. Mari kita bermain logika sederhana lagi. Monas memiliki area yang cukup luas ditambah dengan infrastruktur yang cukup memadai khususnya bagi pejalan kaki. Fasilitas trotoar jelas tersedia dan diperuntukan bagi pejalan kaki di area Monas. Namun mengapa perlu dilakukan perobohan pagar dan pengunjung dipersilakan untuk menginjak rumput? Dimana letak urgensinya? Sejak zaman gubernur Sutiyoso pemagaran monas dilakukan untuk menjaga pertumbuhan rumput demi estetika dan kelangsungan hidup rumput itu sendiri sebagai makhluk hidup.

Tak heran jika banyak yang berasumsi bahwa Anies-Sandi hanya mengacak-acak program yang ada dan menambahkan sedikit polesan pada kebijakan-kebijakan yang sudah berjalan baik sebelumnya seperti KJS dan KJP yang hanya ditambah kata plus menjadi KJS plus dan KJP plus. Penambahan kata plus ini seolah memberi trademark pembeda antara KJP dan KJS di era Ahok dan di era Anies-Sandi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun