Hak asasi manusia (HAM) merupakan prinsip universal yang sejatinya menjamin kebebasan dan perlindungan bagi setiap individu, tanpa kecuali. Menurut Soegito (2003:160), Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas dan diganggu gugat oleh siapapun. Namun demikian, berbicara tentang HAM di Indonesia seringkali justru menjadi pembahasan yang kompleks dan memicu perdebatan panjang.
Salah satu topik yang belakangan ini cukup sering menuai sorotan adalah mengenai penegakan hak untuk komunitas LGBTQ+ di Indonesia. Â Meskipun pemerintah telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, akan tetapi perlindungan bagi kelompok minoritas gender dan seksualitas masih jauh dari kata ideal. Diskriminasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari stigma sosial, pembatasan hak-hak dasar, hingga adanya upaya kriminalisasi terhadap individu dari kelompok ini dengan dasar pada regulasi daerah maupun tekanan kelompok konservatif.
Ketiadaan hukum yang secara eksplisit melindungi hak mereka membuat komunitas LGBTQ+ rentan terhadap kekerasan dan persekusi. Bahkan, dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari tindakan represif terhadap kelompok ini. Peraturan daerah berbasis nilai moral dan agama juga sering kali digunakan untuk membatasi kebebasan individu LGBTQ+. Di Aceh misalnya, pada tahun 2018 yang lalu, dua orang pemuda masing-masing mendapatkan 83 kali hukuman cambuk karena diduga melakukan hubungan sesama jenis. Tindakan persekusi yang diabadikan lewat video ini kemudian menjadi viral, bahkan hingga mendapat perhatian warganet dari luar negeri.
Selain itu, adanya stigma sosial yang kuat terhadap LGBTQ+ ikut memperburuk keadaan. Banyak individu yang kehilangan pekerjaan, diusir dari rumah, atau dikucilkan dari lingkungan sosial karena orientasi seksual atau identitas gender mereka. Hal ini diperparah oleh narasi negatif yang sering disebarkan oleh tokoh masyarakat dan media.Â
Di lingkup ekonomi sekalipun, kelompok LGBTQ+ juga tak luput dari tindakan diskriminasi. Dilansir dari Republika News, seorang polisi berinisial DK dengan pangkat AKBP diberhentikan secara tidak hormat dari pekerjaannya sebagai wakil direktur Kriminal Khusus di Polda Sumatera Utara karena dugaan praktik homoseksualitas.
Fenomena terbaru lainnya yang mencerminkan tingginya diskriminasi terhadap LGBTQ+ di Indonesia adalah maraknya penggunaan tagar #BotiMati dan #UsirLGBTDiIndonesia di platform media sosial populer seperti Instagram, Tik Tok, dan X (Twitter). Tagar ini digunakan oleh kelompok anti-LGBTQ+ untuk menyebarkan ujaran kebencian, mengintimidasi, dan bahkan mengancam komunitas LGBTQ+ melalui postingan-postingan yang berkonotasi negatif. Keberadaan kampanye semacam ini menunjukkan bagaimana diskriminasi terhadap LGBTQ+ tidak hanya terjadi secara langsung tetapi juga semakin terlegitimasi di ruang digital.
Dalam banyaknya diskursus yang membahas mengenai topik ini, sebagian kelompok masyarakat yang lebih liberal mendukung adanya upaya penegakan hak bagi kelompok yang termarginalisasi, seperti komunitas LGBTQ+ ini. Mereka menyoroti bagaimana negara gagal dalam memberikan perlindungan hak bagi kelompok minoritas yang seringkali terabaikan. Sementara itu, sebagian kelompok masyarakat yang lain menolak keras keberadaan komunitas LGBTQ+ dan mengklasifikasikan mereka sebagai ancaman. Kelompok masyarakat yang ini beranggapan bahwa nilai-nilai budaya serta agama harus tetap menjadi acuan utama dalam pembuatan kebijakan publik.Â
Perbedaan narasi yang berkembang di masyarakat menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip universal HAM dan realitas sosial yang acap kali masih resisten terhadap keberagaman gender dan orientasi seksual. Ditambah dengan ketiadaan regulasi yang menjamin dan kian maraknya tren dengan konotasi negatif yang berkembang di masyarakat membuat kelompok LGBTQ+ ini makin rentan terhadap diskriminasi, kekerasan verbal maupun fisik, serta keterbatasan akses terhadap hak-hak dasar seperti pekerjaan, tempat tinggal, dan kesehatan mental.Â