Mohon tunggu...
Anastasia Satriyo
Anastasia Satriyo Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Magister Profesi Psikolog Klinis Anak yang gemar membaca, menonton dan menulis. \r\nMenyukai seni, sastra, bahasa, politik, budaya, pertumbuhkembangan anak dan manusia, serta segala segi kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kapan Kamu Merasa sebagai Warga Negara Indonesia

18 Agustus 2014   06:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:16 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-64 RI di Stadion R Maladi, Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Senin (17/8), mengecat wajahnya dengan warna merah putih. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Peserta upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-64 RI di Stadion R Maladi, Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Senin (17/8), mengecat wajahnya dengan warna merah putih. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)"][/caption]

Pada saat masa kampanye calon presiden, saya sempat mengikuti suatu pertemuan anak muda yang mendukung capres nomor 2. Acara ini dilangsungkan di ruang pertemuan besar di mall kelas A di Jakarta Selatan.

Saya datang dari Depok dengan kereta ke arah Sudirman. Lepek dan berkeringat.

Sampai di sana, saya melihat antusiasme yang besar dari anak muda, anak kuliahan, orang-orang kantoran maupun bapak dan ibu setengah baya yang mengantri untuk memasuki ruangan. Kesan berikutnya adalah salut melihat penampilan orang-orang yang datang dengan tas bermerek dan parfum yang tercium dari jarak 2 meter.

Ya, saya tanpa sadar masih mempunyai prejudice atau prasangka terhadap anak muda kalangan menengah atas di Indonesia. Pengalaman hidup mereka yang di mata saya terlihat dimudahkan dengan fasilitas dan jaminan yang memadai, membuat mereka (menurut saya) cenderung fokus pada dirinya sendiri. Lupa atau tidak sadar bahwa dengan posisi dan sumber daya yang mereka miliki, adanya kepedulian dan kesadaran (awareness) terhadap persoalan bangsa dan masyarakat membuat mereka bisa melakukan banyak hal. Kemudian saya menyadari kalau kepedulian dan kesadaran itu tidak bisa dipaksakan. Butuh keterpaparan (exposure) dan juga butuh rasa memiliki atau belongingness terhadap identitas bangsa. Nah topik ini sendiri bisa menjadi satu artikel sendiri jika hendak dijabarkan dengan panjang lebar.

Di pertemuan ini  ambience, hype dan atmosfer yang terasa dari keseluruhan acara maupun orang yang hadir sarat dengan antusiasme, optimisme, kepedulian, dan ketergerakan untuk ikut turun tangan untuk Indonesia. Suasana yang membuat rasa haru menyeruak dan air mata menetes beberapa kali.

Antusiasme ini juga terlihat pada saat sesi tanya-jawab.

Seorang anak muda, mahasiswa sebuah universitas negeri di Yogyakarta datang ke Jakarta khusus untuk mengikuti acara ini dan melontarkan pertanyaan kepada Anies Baswedan.

“Pak, kata orang-orang gerakan nasionalisme anak muda Indonesia itu seperti Batman. Muncul pada saat tertentu saja. Misalnya, kayak pas Reformasi’98, lalu sekarang ini pas menjelang Pemilu. Nah, menurut Bapak gimana sih caranya untuk menjaga rasa nasionalisme anak muda Indonesia. Supaya selalu ada terus-menerus dan nggak cuma di momen-momen tertentu saja?”

Hmm, pertanyaan yang bagus dan menggelitik. Mungkin juga menjadi pertanyaan banyak orang lainnya.

Lalu Pak Anies menjawab pertanyaan tersebut seperti ini.

“Untuk tetap merasa dan menyadari sebagai Warga Negara Indonesia sebenarnya adalah dengan mencari identitas tersebut lewat keseharian hidup. Dalam hidup kita memiliki berbagai peran. Misalnya saja saya, memiliki peran sebagai suami, sebagai ayah, sebagai dosen. Peran tersebut terikat pada identitas saya, sebagai individu. Nah, apakah ketika saya sedang malas atau bosan saya bisa bilang ke istri saya, “Ma, saya lagi bosen jadi suami. Saya hari ini nggak jadi suami dulu ya?” atau bilang ke anak saya, “Hari ini papa nggak mau jadi papa kamu.” Apa bisa bicara seperti itu? Tidak bisa kan. Sepanjang hari semua peran itu tetap saya emban dan tetap saya jalankan. Demikian juga peran dan kesadaran sebagai WNI.

Seorang ibu bisa menyadari dirinya sebagai WNI, ketika dia mengasuh dan menyuapi anaknya dengan cinta. Ia menyadari bahwa ia melakukan ini bukan hanya supaya anaknya kenyang dan tidak menangis. Tapi ia juga menyadari bahwa ia sedang berkontribusi terhadap nasib generasi penerus bangsa ini, yaitu anaknya sendiri.

Seorang ayah bisa menyadari identitasnya sebagai WNI, ketika dia bekerja, juga ketika bermain dengan anaknya. Menyadari seorang anak yang memiliki banyak pengalaman dicintai secara ‘sehat’ membuatnya kemungkinan besar dapat tumbuh menjadi individu dewasa yang solid, menyadari siapa dirinya, potensi dan kompetensinya sehingga nanti ketika ia bekerja, ia tak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, tapi juga bekerja yang melayani orang lain. Atau bekerja yang memberikan lapangan pekerjaan untuk orang lain, sesama Warga Negara Indonesia.

Intinya, kesadaran sebagai Warga Negara Indonesia hanya memerlukan kesadaran akan kontekstual hidup. Cakupan hidup diperbesar dan diperluas. Bukan hanya untuk diri sendiri, keluarga dan orang-orang di sekitar tapi kesadaran bahwa saya bagian dari bangsa lewat aktivitas sehari-hari saya.

Melalui kesadaran yang luas namun tetap memijak bumi dan sehari-hari seperti ini, maka kesadaran dan rasa belonging sebagai Warga Negara Indonesia terjadi secara otomatis. Lewat keseharian hidup. Bukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti saat Pemilu, saat ngurus KTP atau saat membayar pajak.

Kesadaran ini niscaya juga menggerakkan masing-masing individu untuk memaksimalkan potensi dirinya. Memaksimalkan potensi dirinya untuk dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarga, lingkungan terdekat sekaligus untuk Indonesia.  Sebaliknya mencintai Indonesia juga dapat dijewantahkan melalui perilaku sehari-hari, mulai dari yang sederhana.

Kemudian tiap orang akan menemukan cara dan medianya sendiri untuk mengaktualisasikan rasa cinta dan rasa sebagai bagian dari negara ini, dengan caranya masing-masing. Seturut dengan potensi dan kompetensinya masing-masing.

Di zaman seperti ini, menurut saya pemikiran yang cukup sempit jika hanya melegitimasi cara-cara tertentu sebagai satu-satunya cara untuk menunjukkan nasionalisme. Ada beragam cara untuk mewujudkannya.

Termasuk saya. Saya mempunyai definisi dan cara saya sendiri untuk mewujudkan rasa cinta terhadap Tanah Air, untuk mengejewantahkan rasa cinta dan belongingness sebagai bagian dari Indonesia.

Maka, kalau pertanyaan “Kapan kamu merasa sebagai Warga Negara Indonesia” ditanyakan kepada saya.

Jawabannya adalah, "Setiap bangun tidur di pagi hari dan saya harus berangkat kuliah.

Setiap saya bertemu dengan orang lain, sesama saya."

Setiap helaan nafas saya, saya menyadari saya adalah warga negara Indonesia, bagian dari negara ini. Karena merasa bagian dari negara ini, maka ingin ikut berkontribusi untuk negara ini dengan cara yang saya definisikan sendiri.

Jawaban yang sama seperti kalau saya ditanya, “Kapan kamu merasa sebagai pacarnya B?”.

“Setiap bangun tidur di pagi hari, setiap hari. Setiap helaan nafas.”

1408294491818463359
1408294491818463359

Gambar dipinjam dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun