Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dollar Watch

17 Oktober 2018   13:59 Diperbarui: 17 Oktober 2018   15:30 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keduanya adalah petani gandum yang akrab dengan garu, gosrokan, dan sabit. Pada tahun 1879, mereka meninggalkan desa dan merantau ke New York, dan, tanpa cukup bekal technical-know-how, mereka nekat terjun ke belantara industri. Panjang cerita dua jejaka miskin ini berkelana hingga suatu ketika Ingersoll menyadari hal yang sangat dibutuhkan publik, yang kala itu belum dipikirkan manusia manapun.

Ingersoll sedang mengamati lelaki metropolitan yang mengeluarkan jam dari sakunya saat pikiran itu muncul. "Orang-orang," kata Ingersoll, "baik yang berkerumun di pusat kota, melaju di atas kendaraan, atau yang menyebar di sudut-sudut kecamatan, pasti berharap untuk selalu tahu waktu. Mungkin sesekali mereka bisa melihat jam dinding, tetapi seringnya tidak."

Saat itu penghujung abad-19, jam dinding hanya ada di lokasi strategis kota dan jam tangan masih dianggap mustahak perempuan. Jam tangan sama mahalnya dengan jam saku milik pria metropolitan yang sedang diamati Ingersoll. Keduanya adalah jenis kemewahan dan langka dimiliki oleh kelas pekerja.

"Tetapi jika aku bisa membuat jam dengan ukuran lebih mungil yang harganya terjangkau, mungkin inilah saatnya bagi orang miskin manapun untuk mempunyai alat rekam waktu dan membuat dirinya lebih efisien bekerja." Naif Ingersoll. Ia tak sadar bahwa dunia jam penuh elegansi, sementara ia hanya buruh bergaji rendah.

Dalam soal jam, kecerdasan manusia Ingersoll bisa dibilang setingkat tanaman kaktus. Namun, ide besarnya kadung membuat dia kelampau obsesif. Tahun-tahun selanjutnya, ia mulai menginvestigasi pabrik-pabrik jam, membeli satu dari mereka, membongkarnya, kemudian menghitung segala kemungkinan untuk mereduksi baik itu ukuran jam, harga bahan ataupun desainnya. Itu butuh waktu yang lama dan tak terhitung percobaan dilakukan.

Hingga pada akhirnya, 1893, di sebuah pekan raya di Chicago, ia berkesempatan memamerkan hasil karyanya tersebut dan sontak ia mendapat perhatian publik. Belum pernah mereka melihat ada jam saku berspesifikasi prima yang dibanderol seharga 10 kaleng sarden pada kala itu.

Seketika itulah pengertian jam bergeser, dari "perhiasan" menjadi "perkakas". Inilah yang publik inginkan dan tunggui. Tak butuh panjang pikiran masyarakat untuk berbondong-bondong membeli jam Ingersoll.

Kemudian, kabar menyebar secepat maling, dari mulut ke mulut, katalog, dan surat-surat kabar, bahwa ada jam seharga sedolar persis yang telah mengubah tatanan industri dan memperbaiki standar hidup keseharian banyak buruh di Amerika. Ya, Ingersoll melabeli jamnya seharga satu dolar sahaja.

Publik lantas menyebutnya Dollar Watch. Ia sekali disebut sebagai "jam saku yang sukses membuat dolar begitu populer di mata dunia" oleh bekas Presiden Amerika Theodore Roosevelt, dalam satu kunjungannya ke Afrika. Roosevelt, dengan penuh bangga pula, kerap menyebut dirinya sebagai lelaki dari negeri di mana jam Ingersoll diproduksi.

Dollar Watch kemudian dilayarkan secara masif ke pelbagai penjuru dunia setelah memberi fondasi efisiensi bagi rakyat Amerika. Lima puluh juta unit lewat Dollar Watch terjual. Orang-orang Eropa dan daratan lain, kemudian waktu, mulai terbiasa melafalkan dolar, dolar, dolar, dan dolar. Bukan sebagai mata uang, melainkan jam saku.

Kisah Ingersoll yang serupa jin lampu gosok ini tentu saja tak cukup menjawab pertanyaan awal; Mengapa mata uang dolar begitu populer, dan rupiah tidak? Tetapi setidaknya, kisah ini membuka satu pemahaman baru, terutama bagi saya, bahwa rupanya popularitas mata uang bisa dibangun dengan semacam pola dengung, atau buzzer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun