Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dollar Watch

17 Oktober 2018   13:59 Diperbarui: 17 Oktober 2018   15:30 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedikit sekali orang menyadari kesamaan mencolok antara Deddy Corbuzier dan Kendrick Lamar. Bahwa saat bertransaksi dengan mata uang negaranya masing-masing, mereka sama-sama begitu religius; Deddy membeli pomade "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa", dan Kendrick Lamar bersaksi "In God We Trust" saat membeli permen sugus.

Terlihat sekali, di hadapan duit mereka berdua menjadi saleh. Akan tetapi, meski sama-sama menguatkan iman, mengapa dolar lebih populer sebagai mata uang di belahan bumi manapun, dan rupiah tidak?

Sebetulnya banyak paparan ekonomi ataupun teori konspirasi yang menarik di soal itu. Namun, ada catatan sejarah agak anekdotal yang menarik, dan, berikut ini bisa saja jadi alternatif segar untuk menjelaskan asal-muasal superioritas dolar atas mata uang lain.

Semua dimulai sejak 21 Juli 1748, saat Benjamin Franklin berkata bahwa; "Waktu adalah Uang". Kalimat itu adalah penggalan paling paripurna dari esainya, Advice to a Young Tradesman, Written by an Old One.

Pada esai 10 paragraf tersebut, Franklin meletakkan dirinya bak veteran kapitalis yang sedang meniupkan jiwa sales ke tubuh para pemuda Amerika. Ia ingin manusia Amerika menguatkan mental bekerja dan memperkaya diri. Buat Franklin, tak ada cara hidup selain itu di Amerika.

"Dia yang bekerjalah," kata Franklin, "yang lebih cepat kaya, karena bekerja menghantar uang, dan uang beranak pinak menjadi uang ... Jika kamu ingin kaya, terjunlah ke industri dan hiduplah secara irit. Dua hal itu tidak menghabiskan waktu dan uangmu".

Ajakan Franklin berhasil? Ajakan Franklin berhasil. Franklin seperti memberi kepandaian baru bagi masyarakat Paman Sam. Ditambah lagi, kondisi Amerika tahun-tahun segitu membuat kalimatnya terasa benar di segala tempat.

Di masa selanjutnya, secara utuh, Advice to a Young Tradesman, Written by an Old One menjadi alamat pola ekonomi umumnya orang Amerika. Jiwa sales menyuburi tubuh manusia Amerika. Mereka bekerja, menawarkan apapun barang dan jasa, selama itu mendatangkan uang dan menjadikannya kaya.

Tidak ada yang mengejutkan? Tentu saja. Lagipula kita telah berkarib kapitalisme Amerika dalam pengertian sederhana sekalipun. Lebih tidak mengejutkan lagi yakni kenyataan bahwa manusia Amerika merupakan sales kualitas bulldog. Mereka bisa memoles sejenis daki seperti La La Land, American Idol, Donald Trump, dan Kendrick Lamar hingga nampak bersinar.

Sebetulnya kalau dunia menyepakati kentut sebagai bentuk sanjungan, nama-nama barusan sungguh layak dianugerahi piala emas. Akan tetapi baiklah. Adalah keniscayaan bila "Waktu adalah Uang"-nya Benjamin Franklin berdampak buruk bagi orang lain saat diamalkan orang tertentu. Bagaimanapun, ia tetaplah nilai luhur bermata ganda. Tak melulu baik tak melulu buruk.

Tentu baik dan buruk itu subjektif dan memancing perdebatan sehingga harus dihindari. Yang jelas, untuk kepentingan tulisan, mari kembali ke Franklin. Sebab penting kiranya melihat bagaimana keberhasilan kalimat dia melegitimasi pikiran rakyat Paman Sam untuk mengejar "Mimpi Amerika", tak terkecuali pemuda tani dari Michigan, Robert Ingersoll, dan saudaranya Charles.

Keduanya adalah petani gandum yang akrab dengan garu, gosrokan, dan sabit. Pada tahun 1879, mereka meninggalkan desa dan merantau ke New York, dan, tanpa cukup bekal technical-know-how, mereka nekat terjun ke belantara industri. Panjang cerita dua jejaka miskin ini berkelana hingga suatu ketika Ingersoll menyadari hal yang sangat dibutuhkan publik, yang kala itu belum dipikirkan manusia manapun.

Ingersoll sedang mengamati lelaki metropolitan yang mengeluarkan jam dari sakunya saat pikiran itu muncul. "Orang-orang," kata Ingersoll, "baik yang berkerumun di pusat kota, melaju di atas kendaraan, atau yang menyebar di sudut-sudut kecamatan, pasti berharap untuk selalu tahu waktu. Mungkin sesekali mereka bisa melihat jam dinding, tetapi seringnya tidak."

Saat itu penghujung abad-19, jam dinding hanya ada di lokasi strategis kota dan jam tangan masih dianggap mustahak perempuan. Jam tangan sama mahalnya dengan jam saku milik pria metropolitan yang sedang diamati Ingersoll. Keduanya adalah jenis kemewahan dan langka dimiliki oleh kelas pekerja.

"Tetapi jika aku bisa membuat jam dengan ukuran lebih mungil yang harganya terjangkau, mungkin inilah saatnya bagi orang miskin manapun untuk mempunyai alat rekam waktu dan membuat dirinya lebih efisien bekerja." Naif Ingersoll. Ia tak sadar bahwa dunia jam penuh elegansi, sementara ia hanya buruh bergaji rendah.

Dalam soal jam, kecerdasan manusia Ingersoll bisa dibilang setingkat tanaman kaktus. Namun, ide besarnya kadung membuat dia kelampau obsesif. Tahun-tahun selanjutnya, ia mulai menginvestigasi pabrik-pabrik jam, membeli satu dari mereka, membongkarnya, kemudian menghitung segala kemungkinan untuk mereduksi baik itu ukuran jam, harga bahan ataupun desainnya. Itu butuh waktu yang lama dan tak terhitung percobaan dilakukan.

Hingga pada akhirnya, 1893, di sebuah pekan raya di Chicago, ia berkesempatan memamerkan hasil karyanya tersebut dan sontak ia mendapat perhatian publik. Belum pernah mereka melihat ada jam saku berspesifikasi prima yang dibanderol seharga 10 kaleng sarden pada kala itu.

Seketika itulah pengertian jam bergeser, dari "perhiasan" menjadi "perkakas". Inilah yang publik inginkan dan tunggui. Tak butuh panjang pikiran masyarakat untuk berbondong-bondong membeli jam Ingersoll.

Kemudian, kabar menyebar secepat maling, dari mulut ke mulut, katalog, dan surat-surat kabar, bahwa ada jam seharga sedolar persis yang telah mengubah tatanan industri dan memperbaiki standar hidup keseharian banyak buruh di Amerika. Ya, Ingersoll melabeli jamnya seharga satu dolar sahaja.

Publik lantas menyebutnya Dollar Watch. Ia sekali disebut sebagai "jam saku yang sukses membuat dolar begitu populer di mata dunia" oleh bekas Presiden Amerika Theodore Roosevelt, dalam satu kunjungannya ke Afrika. Roosevelt, dengan penuh bangga pula, kerap menyebut dirinya sebagai lelaki dari negeri di mana jam Ingersoll diproduksi.

Dollar Watch kemudian dilayarkan secara masif ke pelbagai penjuru dunia setelah memberi fondasi efisiensi bagi rakyat Amerika. Lima puluh juta unit lewat Dollar Watch terjual. Orang-orang Eropa dan daratan lain, kemudian waktu, mulai terbiasa melafalkan dolar, dolar, dolar, dan dolar. Bukan sebagai mata uang, melainkan jam saku.

Kisah Ingersoll yang serupa jin lampu gosok ini tentu saja tak cukup menjawab pertanyaan awal; Mengapa mata uang dolar begitu populer, dan rupiah tidak? Tetapi setidaknya, kisah ini membuka satu pemahaman baru, terutama bagi saya, bahwa rupanya popularitas mata uang bisa dibangun dengan semacam pola dengung, atau buzzer.

Jika dulu dolar pernah berdengung keras dengan medium jam saku, kemudian membuat dolar populer, disambut baik di dalam dan di luar negeri; lewat medium apa sebaiknya kita mendengungkan rupiah agar uang kita populer?

Sumber Pusataka:

  • Harry C. Brearley, 1919. Time Telling trough the Ages. New York: Doubleday, Page & Co.
  • Dan Nimmo, Chevelle Newsome, 1997. Political Commentators in the United States in the 20th Century. London: Greenwood Press.
  • Benjamin Franklin, 1748. Advice to a Young Tradesman, Written by an Old One. [Essay]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun