Umat manusia di masa depan akan mengalami kiamat. Namun, kiamat yang dimaksud bukan seperti tafsiran teologis. Melainkan situasi hancur lebur, karena ilmu pengetahuan tidak lagi penting untuk dipelajari.
Situasi hancur lebur inilah, menciptakan suatu kondisi yang membuat manusia-manusia modern bertanya; Kenapa harus bersusah payah mempelajari filsafat belajar berpuisi? Ataupun menulis? Bukankah segalanya sudah tersedia?! Hal inilah yang sekiranya membuat kesusastraan, kesenian dan filsafat akan menjadi sebuah tarekat-tarekat kebatinan yang asketis.
Setelah melakukan suatu refleksi dengan menerawang masa depan, muncullah sosok misterius bernama "Sastra Indonesia" yang memanifestasikan dirinya kepada Risdianto melalui suatu ungkapan:
..." Aku terbuat dari air mata penyair buta. Aku terbuat dari buku-buku puisi yang menumpuk di gudang penerbit, sebelum akhirnya penerbit itu bangkrut dan gudangnya menjadi tempat penyembelihan sapi dan semuanya memfosil dalam 1 juta tahun. Aku terbuat dari cerpen-cerpen koran yang menunaikan takdir tertingginya menjadi pembungkus gorengan. Aku terbuat dari isi hati novelis yang ditinggalkan penggemarnya. Aku terbuat dari lengan kritikus yang dengan susah payah mengangkat galon Aqua. Aku terbuat dari kemalangan yang mengingatkan orang pada puisi. Aku terbuat dari ingus penulis yang kena influenza, tetapi terus bekerja menggubah karya yang tidak akan dibaca siapa-siapa. Aku terbuat dari senyum pramuniaga dihadapan cerpenis yang dengan agak gugup bertanya ini berapa. Aku terbuat dari teori-teori sastra yang keliru. Aku terbuat dari puisi yang terbuat dari cairan maag yang terbuat dari promag, esensi dari semua rasa lapar"...
***
..."Aku bersemayam dalam lutut penyair. Aku bersemayam dalam rongga yang mengantarai tiap-tiap kata dalam sajak. Aku bersemayam dalam detik-detik hening ketika penyair menerima sepucuk amplop dari panitia, menatapnya lekat-lekat dengan 100.000 fantasi di kepalanya. Aku bersemayam dalam topi pet penyair, yang tidak bisa membedakan sajak sedih dari sajak menyedihkan. Aku bersemayam dalam apa yang dibayangkan sebagai daerah oleh para sastrawan daerah. Aku bersemayam dalam kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di hadapan para sastrawan, dewan kesenian, tahun ini tidak ada anggaran untuk kesenian. Aku bersemayam dalam sajak-sajak buruk yang disumpahi orang banyak, tapi begitu disayangi oleh penyairnya sendiri. Aku bersemayam dalam kantung mata sastrawan yang menangisi kematian karir sastranya. Aku bersemayam dalam Indonesia yang adalah seluruh dunia persaudaraan batin orang-orang susah. Akulah puisi tersembunyi di setiap buku puisi. Akulah gemuruh dalam perut penyair yang belum makan tiga hari. Akulah kosong dan suwung yang ditemukan sastrawan dalam dompet mereka. Akulah orang gila yang datang di acara peluncuran buku puisi penyair-penyair kabupaten. Akulah angin di bubungan atap rumah kontrakan penyair yang sedang kesusahan uang. Akulah hayat dan batin yang bersemayam dalam diri setiap penghayat kebatinan Sastra Indonesia. Akulah inti wujud hari kiamat"...
***
Jika ditelaah secara keseluruhan dan dikontekskan pada saat ini, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ke dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Sehingga tak ada keautentikan dari sebuah karya yang dihasilkan. Dengan gaya penulisan berunsur satire, sarkas dan kritikan secara gamblang. Terdapat suatu upaya mendekonstruksi karya-karya sastra yang berlarut-larut dalam romantisme percintaan, hingga melankolia. Saat ini, tak ada lagi sosok sekaliber Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, Chairil Anwar yang menjadikan karyanya sebagai sarana untuk perlawanan. Oleh karena itu, mari merefleksi bersama-sama!
*) Tulisan ini sebelumnya telah terbit di sapukata.co
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI