Mohon tunggu...
Ananda Zhalza Ayu
Ananda Zhalza Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Makassar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

HIV/AIDS sebagai Konstruksi Sosial : Telaah Sosiologis terhadap Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA di Masyarakat

14 Oktober 2025   10:29 Diperbarui: 16 Oktober 2025   14:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sel CD4 dalam tubuh manusia, memanfaatkannya untuk berkembang biak, lalu merusaknya sehingga sel tersebut tidak lagi dapat berfungsi dengan baik. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang muncul akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV atau oleh virus sejenis lainnya. Penyakit HIV/AIDS sebenarnya sudah ada sejak lama, namun baru disadari keberadaannya pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1981, Amerika serikat melaporkan kasus infeksi langka pada kalangan homoseksual yang kemudian disebut GRIP (Gay Relate Immune Deficiency), yaitu penurunan kekebalan tubuh yag dikaitkan dengan kaum gay. Setahun kemudian, CDC Amerika Serikat mendefinisikan secara resmi penyakit ini sebagai AIDS dan sejak saat itu pengawasan terhadap kasusnya dimulai. 

Pada tahun 1982-1984, dua kelompok ilmuwan yakni Luc Montagnier dari Institut Pasteur Paris dan Robert Gallo dari National Institute of Health menemukan virus penyebabnya yang awalnya disebut LAV dan HTLV-III. Tahun 1985 ditemukan tes ELISA untuk mendeteksi infeksi virus tersebut. Lalu setahun kemudian, virus penyebab AIDS secara resmi dinamakan HIV (Human Immunodeficiency Virus) oleh International Committe on Taxonomi of Viruses. Di Indonesia sendiri, kasus pertama AIDS ditemukan pada 15 April 1987 pada seorang wisatawan asal Belanda Bernama Edwars Hop yang meninggal dunia di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Hingga akhir tahun, tercatat enam orang positif HIV dan dua diantaranya telah mengidap AIDS.

Munculnya HIV/AIDS menimbulkan repons masyarakat di seluruh dunia seperti ketakutan, penolakan, stigma serta diskriminasi. Diskriminasi dan stigma telah menyebar dengan cepat, menyebabkan kecemasaan dan prasangka terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dalam masyarakat modern yang semakin maju secara teknologi dan informasi penyakit menular seperti HIV/AIDS seharusnya tidak lagi menjadi sumber stigma sosial. Namun kenyataannya, banyak penderita masih dipandang dengan penuh curiga, diasingkan, bahkan dianggap sebagai "aib" keluarga mereka. 

Stigma terhadap ODHA biasanya muncul karena ketidaktauhan dan stereotip negatif yang berkembang di tengah masyarakat. Banyak masyarakat yang menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit akibat perilaku menyimpang seperti berhubungan seks bebas atau penggunaan suntik narkoba. Pandangan ini yang kemudian menimbulkan anggapan bahwa penderita pantas mendapatkan penyakit tersebut, sehingga muncul perilaku menjauh, mengucilkan bahwa menolak keberadaan ODHA di lingkungan masyarakat. 

Adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderitanya menjadi hambatan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Berdasarkan data UNAIDS (2023), stigma dan diskriminasi di Indonesia menjadi salah satu hambatan besar dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini tidak hanya merugikan bagi ODHA, namun juga memperburuk epidemi HIV secara keseluruhan karena kurangnya deteksi dini dan penanganan yang tepat. Anggapan dan keyakinan bahwa seseorang yang menderita HIV/AIDS karena penyimpangan sosial yang melanggar norma masyarakat. Hal ini menyebakan seseorang dengan infeksi HIV/AIDS menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma. Stigma ODHA tergambar dari sikap sinis masyarakat atau ketakutan yang berlebihan. Masalah ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya memahami penyakit sebagai sebuah sifat medis, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.  

Secara sosiologis, penyakit tidak sekedar dipandang sebagai kondisi biologis yang menimpa tubuh, tetapi juga hasil dari konstruksi sosial masyarakat. Sehat dalam pandangan sosiologi dipahami sebagai sebuah kondisi ketika individu mampu menjalankan peran sosialnya dengan baik dalam masyarakat. Dan sakit dipahami sebagai kondisi ketika individu tidak dapat menjalankan peran sosialnya dalam masyarakat. Dua teori yang dapat digunakan untuk menelaah fenomena ini yaitu teori konstruksi sosial (Peter L. Berger dan Thomas Luckmann) dan teori labelling (Howard Becker). 

Menurut teori konstruksi sosial, HIV/AIDS adalah fenomena sosial bukan sekedar masalah kesehatan biologis. Hal ini adalah fenomena yang dibentuk oleh interaksi, budaya dan wacana masyarakat. Menurut perspektif ini, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) distigma dan di diskriminasi karena masyarakat mengonstruksi penyakit tersebut sebagai simbol perilaku yang dianggap menyimpang. Seseorang yang mengidap HIV sering kali dianggap sebagai individu yang melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan atau menggunakan jarum suntik untuk mengonsumsi narkoba, karena cara penularan virus HIV sering kali dikaitkan dengan perilaku-perilaku tersebut. Selain itu, nilai, norma, dan proses komunikasi yang berlangsung di tengah masyarakat memengaruhi pemahaman dan repons masyarakat terhadap HIV/AIDS. 

Teori labelling merupakan suatu teori yang menjelaskan tentang reaksi masyarakat terhadap perilaku individu yang dianggap menyimpang dan kemudian di cap atau diberi label oleh lingkungan sosialnya. HIV/AIDS bukan hanya persoalan medis, tetapi juga hasil dari pelabelan sosial terhadap ODHA. Menurut teori ini, stigma terhadap ODHA muncul karena pelabelan negatif masyarakat. ODHA sering diberi label negatif seperti "tidak bermoral" atau "berbahaya". Label ini kemudian menyebabkan stigma dan diskriminasi sehingga membuat ODHA merasa terasing dan menutup diri.  Dengan kata lain, pelabelan ODHA terjadi karena norma dan nilai sosial yang melihat HIV/AIDS secara moral daripada medis.

Pendidikan dan edukasi publik sangat penting dalam mengubah perspektif masyarakat dan mengurangi stigma terhadap ODHA. Pendidikan yang inklusif dapat memberikan informasi yang benar tentang HIV/AIDS, termasuk cara penularan, pencegahan dan perawatan yang tepat terhadap ODHA. Edukasi publik juga membantu meningkatkan pemahaman masyarakat luas mengenai bagaimana cara penularan HIV/AIDS yang sebenarnya dan meluruskan pandangan akan takut tertular melalui kontak fisik biasa. Edukasi ini dapat dilakukan berbagai media termasuk media sosial agar masyarakat lebih mudah menjangkau informasi mengenai HIV/AIDS. Selain itu penting melakukan pelatihan tenaga kesehatan agar memberikan layanan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Layanan yang inklusif dan menegaskan kerahasiaan akan mendorong ODHA untuk mengakses pengobatan dan dukungan yang diperlukan tanpa rasa takut atau malu.

Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA menunjukkan bahwa HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial yang dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat. Ketakutan, stereotip, dan penilaian moral yang keliru membuat ODHA sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Melalui teori konstruksi sosial dan teori labelling, kita dapat memahami bahwa stigma muncul karena proses sosial yang memberi arti negatif pada penyakit ini dan orang yang mengidapnya. Untuk mengubah hal ini masyarakat perlu mendapatkan pendidikan dan informasi yang benar tentang HIV/AIDS, sementara tenaga kesehatan perlu dilatih agar memberikan layanan tanpa diskriminasi. Langkah-langkah ini akan membantu ODHA diterima dan diperlakukan setara di tengah masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun