Mohon tunggu...
Achmad Soeparno Yanto
Achmad Soeparno Yanto Mohon Tunggu... -

Sebuah hari takkan pernah dikenang tanpa karya yang kita buat. (Josh S. Hinds)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Revolver dan Kereta Fajar

28 Desember 2011   00:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

06.27  24/12/2011 @kereta MJ ekspres, gerbong no 3.

Percalah!! Ketika bermain pinball kau tidak bermain dengan kedua tanganmu, melainkan kau perlu menggunakan paha untuk menjaga sudut meja mesin. Masalah pinball bukanlah sekadar menjaga bola besi kecil yang melambung-lambung di dalam mesin, agar tidak jatuh dan tertelan mulut gua yang ada di bawah. Tapi masalahnya adalah membuatnya melambung lebih lama, terbang dari satu target ke lain target yang menyala-nyala dan menghasilkan poin, berpindah-pindah bagai burung pipit yang bermanuver di antara reranting, membuatnya penuh gairah, namun bola itu tetap menjadi agen yang bebas. Dan kau membuat semua ini bukan dengan cara menyentak-nyentak mesin kotak yang mengeluarkan bunyi robotik, melainkan dengan memberi getaran melalui ujung pahamu dengan lembut, sehingga mesin itu tidak memakan bola lalu berbunyi tilt.

Rasa-rasanya kepala seperti sebuah agar-agar dengan secuil C4 yang telah dipasangi detonator.  Komposisi 1:34 antara trinitrotoluena dengan zat peledak lain, menginggatkan hobi kekasihku yang suka sekali dengan memasak. Hati-hati dia menimbang tepung gandum, kemudian gula pasir, ditambahi kuning telor lalu masukkan bahan ini, tambahkan sedikit bahan itu. Matanya tak lepas dari acara memasak yang ada di televisi. Acara masak-memasak memang tak pernah dia lewatkan. Ingin rasanya kepala ini aku ledakkan dengan bahan peledak terdahsyat yang pernah ada di muka bumi. Seandainya saja ada Negara yang ingin menjatuhkan bom atom layaknya bom Nagasaki, dengan senang hati tentu saja aku akan menjadi martir lalu terjun dan menjatuhkan bom itu di Negara yang ingin dihancurkan. Tak perlu kasihan itu. Atau kalau tidak, kamu bisa memberiku ide untuk bunuh diri yang bahagia.

Pernahkah kau merasakan mual yang hebat di perut, dan kepala seakan-akan hendak pecah. Berdenyut-denyut hingga kau tak lagi mengetahui dimana posisi hidung dan mulut? Mata berkabut. Air mata jatuh seperti sebuah badai di perairan Gribaltar. Sebuah kapal dengan bendera East India Company berkibar, saking besarnya bendera itu membentuk sebuah siluet hitam di atas langit, orang-orang Jawa mengira itu sebagai monster kalong (kelelawar). Kapal yang puluhan kali besarnya jika dibanding KRI Dewaruci, melaju di lautan dengan tenang, meskipun badai menghantam-hantam. Di lambungnya, tercetak tulisan Plus Ultra.

Jika Yunani pada tahun 1600-an terlalu terobsesi dengan masalah etis yang ada dalam masyarakat, kemudian Romawi dengan hukum, dan orang-orang abad pertengahan dengan teologi, ilmu pengetahuan saat itu hanyalah seonggoka kotoran yang najis disentuh. Bagaimana ini, bagaimana manusia bisa betul-betul memperlihatkan kemampuan kodratinya sebagai manusia. Susah memang menjadi seorang manusia. Dan sayang manusia seperti aku ini hanyalah seonggok bola kecil yang melambung-lambung menunggu di makan oleh gua yang ada di dalam mesin pinball.

“Mampus kalian semua, keluar dari gerbong ini. Ini wilayahku, ini surgaku. Disini aku hanya ingin menunggu malaikat maut, yang akan membebaskanku. Mau mampus ha? Sini, biar kulubangi kepalamu dengan peluru ini.”Katanya dengan suara yang nyaring, merentet layaknya AK-47.

Orang-orang yang ada di dalam gerbong lantas berdiri lalu menyingkir, seperti seekor anjing yang disuruh keluar majikannya. Mata mereka sesekali melirik lelaki kumal—yang mengenakan jaket hitam dan topi dengan tulisan police. Sambil berpikir akan kemana moncong revolver itu diarahkan? Jangan-jangan ke kepalanya? Lelaki gila itu!

Jadi, dari pangkal paha, gerataran halus disalurkan ke ujung kotak pinball, dia hanyalah mesin, dan dia akan patuh, bola itu akan melawan gerak alam—gerak gravitasi, melawan inersia, melawan hukum-hukum dinamika, melawan kecerdasan orang yang membuatnya. Bola ini memang telah tercemar vis movendi, tetap bermain untuk lamanya waktu yang dapat diingat dan sudah lama sekali.

Lima tahun berlalu sudah, hidup telah mengguratkan tanda tanyanya ke dahiku? Ketika tiba di rumah aku selalu mendapatkan kebahagiaan. Wajahmu yang manis, berseri kecoklatan disamping rak buku dengan ratusan judul yang tertata rapi. Hampir kesemuanya novel dan buku tentang filsafat. Dan bukumu dengan catatan edisi terbaru terpasang dengan sampul plastik bening. Namamu, tercetak di punggung buku. Betapa bahagia saat itu, bagaimana saat itu hidup begitu murahnya, memberikan imbalan yang demikian agung untuk sesuatu yang biasa.

05.10 24/12/2011 @Stasiun kota M.

Pagi ini begitu indah. Cahaya merambat ke tiang-tiang besi stasiun. Orang-orang berdandan rapi hendak pergi. Entah kemana mau apa mereka? Yang jelas, kereta ini bertolak dari kota M dan  berakhir di kota Y. Burung? Yah, aku lupa menyapanya. Pagi ini mereka terbang melesat, diantara cahaya fajar. Angin berhembus pelan, dan menggoyangkan ujung padi—membentuk musikalisasi alam. Sedangkan kereta MJ ekspress, berhenti di rel 1 dan siap berangkat sekitar 10 menit lagikea rah barat, melintasi persawahan, kota-kota kecil dengan gambaran lanskap gunung yang hijau. Lalu lalang pedagang dan orang-orang asing yang tampak bersemangat dan optimis.Apa ada kata yang mewakili ‘lebih hidup? Karena inilah yang aku yakin bahwa Nietszche dan Heidegger adalah sosok pertama kali yang menggerogoti landasan filsafat modernitas. Ah! Paling tidak ini menurut Vattimo maupun Lenin yang dibayangkan Yasraf Amir.

“Kenapa aku ini? Kenapa aku bisa kembali lemah? Bukankah mereka yang menyukai puisi, sebuah narasi, sebuah musik dan filsafat adalah orang-orang lemah yang bersembunyi dari kebenaran hidup. Aku ini police, aku berdisiplin. Aku abdi Negara, dan aku bukan orang lemah!! Dan aku memiliki revolver.”

“Tapi, kenapa aku memilih jalan ini?”

Modernitas. Huh!! Rasanya membicarakan itu semua tak akan selesai pagi ini. Lupakan saja mengenai kritik diri yang selalu didengunggkan orang-orang Frankfrut, seperti Adorno, Horkheimer, atau Habbermas sendiri. Dan mungkin tak ada gunanya bicara mengenai kritik dari luar Modernitas, yang sebenarnya ingin melupakan dan meruntuhkan proyek-proyek filsuf modernitas. Aku hampir percaya, ketika Nietszche dan Heidegger mengemukakan bahwa megaproyek Modernitas telah kehilangan daya utopisnya. Bukankah filsafat itu berutopis? Pemikir postmodern dan postrukturalis seperti Foucoult, Deleuze, atau Guattari mungkin lebih paham akan hal ini.

Sepuluh menit yang lama. Waktu seakan berhenti di tempat ini. Ingatanku, seakan teraduk-aduk lalu terlempar ke tempat yang berkabut. Aku tahu kamu perempuan yang cantik dan manja, bahkan diantara aktivis yang lain, dirimulah yang paling berkilau. Saat berdemo, dirimulah permata yang terus memberikan kilatan cahaya. Siapa yang tak rontok hatinya melihat perempuan secantik kamu, berjiwa sosial tinggi, abdi masyarakat pula!

Saat itu, aku merasa menyesal berada di barisan yang berseberangan dengan kelompokmu. Kamu tak akan paham bagaimana rasa di sudut jantung ini, ketika dengan pentungan dan strume stick yang memiliki aliran kejut listrik—kawan-kawanku memukuli kelompokmu. Menyeret mereka, memukuli wajah mereka, menendang kepala dengan sepatu lars yang selalu membuatku sebal. Lucu bukan? Sepatu lars yang sangat aku benci bunyinya ketika beradu dengan perut. Dalam latihan kami, kamu tahu? Setiap ada anggota yang berbuat kesalahan, dapat dipastikan sepatu lars yang berat dan memiliki besi penganjal di depan itu, akan mendapat di perut. Bukkk... Dan aku lebih menyukai musik Pink Floyd daripada suara itu.

Ah, kenapa pula Tuhan menunjukkan perempun itu padaku. Menjadi modern artinya harus menjadi manusia seutuhnya dalam segala paradox dan kontradiksinya. Hidup yang selalu dikuasai secara berlebihan oleh organisasi birokrasi raksasa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol dan seringkali menghancurkan semua masyarakat, nilai, dan kehidupan itu sendiri. Bukankah modernitas juga memberi manusia sebuah kesempatan dalam bentuknya sebagai kekuasaan untuk merubah dunia yang pada gilirannya merubah dirinya sendiri.

Pernah aku menyesali itu semua. Di bawah sebuah jembatan di sudut kota Y, aku menangis sejadi-jadinya. Banyak pertanyaan ‘kenapa’ yang terus merasuk ke kepala. Mencabik-cabik otak, berdenggung di kepala. Membuat badai yang menguras air mata. Hanya bayangan wajahmu yang putih bersinar, membuatku menyesali semuanya.

Sampai di rumah. Kau belai wajahku, kau cium keningku—lalu kelopak mataku, kau usap rambutku dengan lembut. Seribu galau yang meruncing di dada, serentak luruh berjatuhan. Perasaan bahagia mengalir merambati pori-pori tubuh.

“Aku sungguh-sungguh mencintaimu Dewiku...” bisikku ke telingganya.

Perempuan itu hanya menganggukkan kepala, lalu tersenyum. Sebuah senyum yang sangat indah. Dan senyum itulah yang selalu membuat pagi di hati.

00.10 24/12/2011 @Kharisma Hotel di kota M—di sebuah ranjang dengan sprei bermotif Panda yang selalu membuatmu jatuh cinta.

“Sayang, kenapa kamu belum tidur? Ada hal yang kamu risaukan?” kataku.

“Aku merasa telah berdosa.”

“Maksudnya? Inikan yang selalu kamu inginkan? Hidup yang selalu menyongsong fajar masa depan. Hidup yang tidak terkungkung adat dan norma, yang menurut bukumu adalah hal yang membuat pikiran kita sempit.”

Perempuan itu diam. Membisu dengan wajah yang tak berekpresi.

“Aku hamil. Dan ini bukan janin kamu. Dan aku akan menikah dengan orang yang telah menghamiliku.” Dia diam sejenak.

Saat itu malam tiba-tiba sedingin es. Perasaan menggigil tak karuan, dengan perih yang menusuk di ulu hati. Waktu membeku dalam kegelapan kampung-kampung. Hanya gonggong anjing kampung terdengar samar di sudut paling jauh.

“Kamu kenal Arman?” Suaranya pelan dan gelisah. Namun, terdengar denggung yang jelas di rongga dada.

“Arman Setia? Komandanku?” kataku terbata.

“Ya... Dan dengan dia aku akan melangsungkan pernikahan bulan depan di kota M.”

Rasanya tiba-tiba perutku mual mendengar kata-kata wanita ini. Tubuhnya yang telanjang, membuatku ingin muntah. Rasanya begitu menjijikkan aku bercinta dengan wanita pelacur ini.Perempuan yang dulu pernah aku agung-agungkan. Perempuan yang pernah aku anggap suci, bahkan sesuci Maria. Ah, kau perempuanku yang tak pernah bisa kutahu semua yang ada dalam pikiranmu.

“Ed, maafkan aku. Aku tak tahu harus bagaimana. Dengan dia aku bisa menemukan pencerahan. Tapi aku juga binggung bagaimana membicarakan semua ini. Toh, kita juga belum ada ikatan... dan ini tak akan membuat kamu rugi bukan? Kamu Laki-laki hebat Ed, laki-laki sempurna. Seorang Police sejati, filsuf, penyair yang selalu membuatku tak berdaya. Namun, sekarang aku tak lagi mencintai kamu lagi Ed.”

Sungguh lucu, benar-benar lucu. Inilah sebuah paradoks. Inilah kebimbangan metodis yang selalu kita perdebatkan. Entah, dari awal aku seharusnya tahu ini semua. Kamu selalu mencoba menyangkal semua hal yang masih menyembunyikan nihilisme—perusakan berhala-berhala pemujaan yang menutupi kematian Tuhan.

“hahaha... untuk membangun sanctuary (tempat perlindungan) baru, sanctuary yang lama haruslah dihancurkan. Itulah hukum.”

Tiba-tiba saja aku teringat seorang teman Nietzschean dari kota Y yang memilih menjadi Atheis. Wajahnya kurus putih dan terdapat lekuk-lekuk khas Chinese, dan selalu mengenakan kaos barong Bali. Matanya yang agak sipit, selalu tajam melihat sesuatu disekitarnya. “Nietzsche tak pernah berpikir kecuali dalam term kewahyuan—bukan dalam arti memujinya—karena dia menduga aspek kotor dan penuh perhitungan yang lebih njlimet di akhir. Hati-hatilah kawan dengan kenyamanan dan kekuasaan kamu saat ini.”

Mungkin juga kau pernah dengar kisah tentang Marquis de Lantenac dalam Quatre-ving-treize? Saat itu kapal Vendeeins—sebuah kapal perang yang cukup disegani berlayar menerobos badai di pantai Breton. Tiba-tiba sebuah meriam yang sebesar badak terlepas dari tambatannya. Kapal tersebut oleng ke kanan-ke kiri, meriam yang terlepas tadi meluncur dengan cepat dari satu teralis ke teralis lain, layaknya binatang buas yang besar dan berat menghantam sisi-sisi kapal. Seorang penjaga meriam (yang ternyata orang yang sama yang telah teledor meninggalkan meriam tanpa terikat di tempatny) meraih seutas rantai yang berat, dan dengan penuh keberanian rantai itu dia lempar ke meriam yang hampir melindasnya. Dan dengan rantainya dia berhasil mengikat meriam itu dan mengembalikan ke kandangnya. Lalu Lantenac yang bengis mengumpulkan semua awak kapal, dia memuji heroisme sang penjaga meriam, mengambil medali emas yang ada di lehernya, lalu memberikan pada si penjaga meriam dan memeluknya.

Lalu apa yang kau bayangkan tentang kejadian selanjutnya dari kisah Lantenac tersebut? Kemudian Lantenac ini menginggatkan pada seluruh awak kapal Vendeeins serta sang penjaga meriam, bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas keselamatan seluruh awak kapal. Lalu, Lantenac memerintahkan pada algojonya untuk mengeksekusi sang penjaga meriam dengan menenggelamkan ke laut.

Inikah yang hendak kamu lakukan sayang?

08.15 24/12/2011@perjalanan terakhir.

Kau seorang police sekaligus penyair hebat, sayangnya kau tidak pernah menyadari kemampuanmu. Perempuan yang kaucintai mengkhianatimu, menusukmu dari belakang. Dia lebih memilih komandanmu sendiri daripada kau yang selalu terombang-ambing dalam kegelisahan. Bagimu hidup tak lagi ada artinya. Jadi, hari ini kau memutuskan untuk melakukan perjalanan di atas sebuah kereta ekspres dari stasiun kota M. Kau telah memutuskan semuanya. Kau yang telah memilih sendiri rel itu.

Sungguh menyenangkan hidup dalam siklus matahari terbit dan tenggelam. Memandang pendar bulan yang indah di atas kolong langit dengan ribuan tabur bintang. Seruling alang-alang, nyanyian jangkrik, kodok dan gemericik air di sungai bagai semua orkestra alam yang tak akan pernah kaulupakan. Sungguh menyenangkan menginggat kejadian sewaktu masih bocah dulu, kau tentu ingat saat di ajak mbah kakung naik sepeda jengki pergi ke warung kopi di pinggir kebun tebu? Lalu kau diijinkan memilih jajan apa saja, dan memakannya hingga puas. Atau saat dirimu yang masih bocah bermain pasir di depan rumah bersama anak-anak kampung. Mengejar layang-layang putus hingga memancing wader di kedung kali di belakang kampung.

Hidupmu pada awalnya adalah kebebasan yang terdistorsi. Menginjak SMP dengan diam-diam kau pergi dari rumah dan dengan sedikit keberanian tracking ke puncak Lawu. Dan sungguh ajaib, karena kau sampai ke puncak, saat kau melakukan pendakian sendirian—bukan bersama teman-temanmu. Menginjak SMU kau bacai buku-buku sastra, pergerakan dan sedikit tentang filsafat, saat teman-temanmu begitu mengidolakan Sheila on 7 atau Padi atau Westlife, kamu telah begitu fanatik dengan lagu-lagu Pink Floyd. Mungkin kamu masih ingat lirik Fearless?“Fearlessly the idiot faced the crowd smiling. Merciless the magistrate turns ‘round frowning’”

Barangkali kau bisa merasakan stadion Anfield bergetar hebat, saat Steven Gerrard dan teman-temannya memasuki lapangan dengan kostum The Reds berlambang Liver Bird. Gemuruh ribuan orang kemudian menyenandungkan “in your own way. And every day is the right day. And as you rise above the fear-lines in his brow, you look down, hearing the sound of the faces in the crowd.”

Entahlah, tiba-tiba saja semua memory berloncatan dari kepala. Seperti seekor binatang yang tengah mencium bahaya, satu-persatu orang yang pernah kau kenal muncul di depan kedua matamu. Tergambar wajah-wajah mereka yang bahagia. senyum-senyum mereka yang membuatmu sejenak tenang dan bisa menikmati laju kereta yang melintasi persawahan. Di selatan, tampak kokoh gunung Lawu dengan hamparan pepohonan berwarna hijau. Awan dan langit biru yang ada di atas gunung, terlihat sebagai sebuah guratan surealis.

Tak ada satu pun sesal yang mendera, setelah semalam hingga fajar, kau memotong-motong tubuh kekasihmu. Dengan dingin, kau tusukkan sangkur ke jantung kekasihmu—orang yang selalu kau cium bibirnya, hingga semua kesedihan yang mengkabut di hatimu luruh. Darah keluar bagai air mancur, sesaat kau terpesona melihat spektrum merah berpadu warna lampu hotel yang cenderung orange. Tubuhnya mengejang dengan suara grokkk-grokkk yang hebat dari mulutnya. Kau sumpal mulutnya dengan kaos dalam yang kau beli dari koperasi kantor. Suara itu redam. Bagai seorang pengukir Bali, kau tatahkan mata sangkur ke bagian-bagian tubuhnya, hingga semua saling terpisah.

Kau cium keningnya sebagai tanda perpisahan.

***

Kereta berderak dengan suara aneh saat melewati jembatan. Sungguh, inilah perjalanan yang paling bermakna yang pernah aku tempuh. Kini, di gerbong yang sudah tidak ada orang satupun, aku bisa menikmati setiap suara denggung angin di bawah kereta, merasakan suara mesin dan rel yang beradu dengan ban besi kereta. Gerbong itu kini benar-benar sepi. Dan revolver di tangankumulai dingin serta basah oleh keringat.

Aku baca sekali tulisan ‘plus ultra’ yang terukir di besi handle bawah. Ukiran yang aku bayangkan sama indahnya dengan ukiran di lambung kapal milik East India Company yang berlabuh di Hindia Belanda. Sebuah bau petualang. Sebuah keniscayaan. Aku lihat revolver colt yang telah menemaniku selama ini. Besi yang dingin sekaligus magis—benda yang tak pernah melukai siapapun. Ironis, sebentar lagi bulatan kecil yang muncul dari corong besinya akan melubangi kepala pemiliknya.

Aku hanya tertawa saja, ketika sebuah bayangan sadis muncul di kepala. Ketika jemari ini menarik pelatuk, lalu ‘duarrr!!!’. Hanya sekali sentuhan, puluru yang berbentuk bulat akan meluncur super cepat meninggalkan selongsong dan menembus dinding batok kelapa. Lalu, darah muncrat bersama serpihan kecil batok kepala. Sedetik kemudian kepala ini akan bolong, dan darah beserta otak setengah meledak, meleleh keluar dari lubang kepala. Dan aku akan mati kehabisan darah. Sungguh tragis dan keji kelihatannya.

Siapapun yang telah menciptaku, ijinkan aku untuk bunuh diri dengan bahagia. Sebuah kematian yang sempurna.

Kereta MJ ekspres, telah sampai pada stasiun Sr—sebuah stasiun kecil yang berada di timur kota S. Perjalanan masih akan berlanjut, masih ada beberapa stasiun lagi yang akan disingahinya, dan akan berhenti di stasiun kota Y.

Yogyakarta, Malam Natal 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun