Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ternyata Dia itu Boss Koruptor-nya

2 April 2010   03:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

aldnp 13

Kita kembali ke lawan bicara pak Duma, yang sedang tersambar petir di siang bolong itu.

Dalam pikirannya, praktek pembelian fiktif itu telah dan masih menjadi sistem yang berjalan dengan semestinya. Kalau toh kemudian ada yang menyadari kejanggalan itu biasanya ia akan segera maklum juga bahwa percuma saja berupaya membongkarnya karena selama ini ia telah turut menikmati bagiannya. Salah-salah ia akan tersingkir dan dikucilkan oleh lingkungannya atau lebih buruk lagi dirinya serta keluarganya akan dibuat celaka.

Mungkin ia salah dengar! Atau kalau memang benar, tentu orang itu tidak waras. Dari ujung telpon terdengar suara pak Duma menjawab pertanyaannya.

“Benar pak. Pada rapat siang tadi seorang anak buah saya mengungkapkannya secara terbuka, lengkap dengan data-datanya. Bahkan dia sempat menandai barang-barang lama secara diam-diam dan memeriksanya setelah ada pembelian baru dan mendapati tidak ada barang baru yang masuk gudang,” jawab pak Duma.

“Siapa orang itu?!” sergahnya.

“Andragi namanya. Anak muda yang bekerja dibagian perencanaan anggaran.”

“Andragi! Pacarnya Nina?”

“Benar, pak!” jawab pak Duma.

“Kenapa dia bisa tahu,,? Itukan bukan urusannya!”

“Itulah pak, saya juga tidak mengerti. Rupanya diam-diam ia mencurigai anggaran pembelian barang-barang itu yang relatif hampir sama besarnya setiap tahun, lalu melakukan penyelidikan sendiri,” jelas pak Duma.

“Siapa saja yang terlibat? Apa Nina juga ikut terlibat?”

“Tidak, pak. Tampaknya dia bekerja sendiri. Anak itu memang agak pendiam dan polos. Biasanya pegawai yang lain akan diam saja meski tahu ada hal-hal yang tidak beres. Mereka sudah maklum. Tetapi anak itu memang tidak seperti kebanyakan pegawai lainnya,” jelas pak Duma.

“Syukurlah kalau Nina tidak terlibat!” katanya tandas.

Nina, pacar Andragi itu ternyata adalah anak pak Gadar, orang yang ditelpon oleh pak Duma. Pak Gadar memang memasukkan Nina untuk bekerja di lembaga yang dipimpin pak Duma. Biasa, namanya juga nepotisme, meski sebenarnya gadis itu cukup pandai dan bisa bekerja dimana saja ia mau. Tetapi ayahnya menginginkan dia bekerja di lingkungan pemerintah yang semua orang tahu pekerjaannya lebih santai dan tidak banyak tekanan. Nina sendiri pun tidak tahu hubungan kerja seperti apa yang terjalin antara pak Duma dengan ayahnya. Ia hanya tahu mereka telah berkawan lama sejak waktu kuliah dulu.

Siapakah pak Gadar itu sebenarnya? Mengapa dia tampak lebih berkuasa disbanding si boss pak Duma?

Pria setengah baya ini bekerja di instansi pemerintah yang mengurusi keuangan Negara. Meski bukan pimpinan tertinggi di lembaga itu, tetapi dialah orang yang paling bertanggung jawab (tepatnya: paling berkuasa) di bidang anggaran biaya yang diperuntukkan bagi lembaga-lembaga pemerintah. Posisinya sungguh sangat strategis, karena semua anggaran yang diajukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan perusahaan-perusahaan milik Negara harus mendapatkan persetujuan darinya. Tentu jabatannya itu tidak diperolehnya begitu saja. Ia tidak meniti karirnya dari bawah disana, sebagaimana para pegawai biasa. Ia justru ditempatkan disana oleh pimpinan teras komite pusat (ini semacam polit biro) dari partai yang berkuasa, dengan maksud tertentu. Meski tidak terlihat melakukan aktivitas politik praktis, namun sebenarnya pak Gadar adalah kaki tangan partai yang berkuasa, sebagaimana keharusan (yang tidak tertulis tetapi menakutkan banyak orang) bagi semua pejabat maupun pimpinan institusi pemerintah.

Memang bukan rahasia lagi kalau posisi-posisi kunci sebuah instansi ditempati oleh orang dari partai yang berkuasa. Kompeten atau tidak bukanlah hal yang menjadi pertimbangan utamanya. Yang penting loyalitas buta harus dimilikinya. Ya, loyalitas atau kesetiaan tetapi yang buta. Yang ngawur! Loyalitas buta adalah bentuk kesetiaan seekor anjing yang selalu membela tuannya tanpa pernah berpikir perkara benar atau salah. Kadang bahkan lebih rendah dari martabat binatang peliharaan yang paling banyak digemari oleh manusia itu. Seekor anjing akan melihat calon korbannya lalu menatap mata tuannya lebih dahulu untuk mencari kepastian jika disuruh menggigit orang lain yang telah dikenalnya. Ia tidak akan beranjak jika tuannya tidak memerintahnya sekali lagi dengan tegas. Tetapi, loyalitas buta hanya dimiliki oleh robot yang tidak memiliki hati dan perasaan, yang menuruti apapun perintah yang diterimanya. Mungkin masih lebih baik robot karena digerakkan oleh komputer yang ber’otak’ cerdas. Otak robot akan bertanya dulu bila instruksinya “error”, sebelum mendapatkan kepastian eksekusi. Mereka-mereka ini sering justru tidak berotak (karena itulah mereka dipakai) dan kalaupun memiliki sedikit kecerdasan, otak itu tidak boleh dipakai.

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

Sebelumnya Sesudahnya


  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci
  14. Orang-Orang Lingkaran Dalam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun