Oleh: Moh. Irfandi Djumaati, (Instruktur HmI Pohuwato)
Dalam momentum perombakan pejabat eselon ll di lingkungan OPD Pemerintah Kabupaten Pohuwato, masyarakat awam menunggu langkah tegas dari Bupati Saipul A. Mbuinga untuk melakukan evaluasi berbasis kinerja terhadap jajaran Kepala Dinas, bukan hanya pertimbangan politik dan kedekatan emosional semata.
Salah satu yang harus menjadi sorotan serius adalah kinerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Pohuwato, karna mengingat posisi strategisnya dalam memastikan arah pembangunan dalam dan pemberdayaan di 101 desa, 3 kelurahan yang ada di Kabupaten Pohuwato belum menyentuh masyarakat secara umum.
Bahkan dapat ditinjau dengan beberapa pertimbangan, diantaranya:
1. Dana desa besar, dampak masih terbatas.
Dalam tiga tahun terakhir, total anggaran alokasi dana desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Pohuwato terus meningkat. Pada tahun 2022 dana mencapai sekitar Rp68 miliar, naik menjadi Rp70 miliar tahun 2023, dan kembali meningkat di tahun 2024. Akan tetapi data peningkatan anggaran ini belum sepenuhnya sejalan dengan perbaikan kualitas pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Banyak desa masih bergelut dengan masalah klasik seperti sanitasi, air bersih, pengelolaan sampah, serta lemahnya administrasi desa. Banyak masyarakat yang menyoroti minimnya pengawasan langsung dari Dinas PMD terhadap penggunaan dana desa, padahal fungsi pembinaan dan supervisi berada di bawah kewenangan langsung Kepala Dinas.
2. Workshop di luar daerah ialah cermin lemahnya efisiensi.
Akhir-akhir ini Dinas PMD mendapat sorotan dari publik, dan kritik semakin tajam ketika beberapa kegiatan workshop dan bimtek perangkat desa dilaksanakan di luar daerah, seperti Gorontalo, pada 2024 lalu hingga baru-baru ini kegiatan workshop digelar di Kota Gorontalo. Langkah ini jelas bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran di tengah kebijakan refocusing belanja daerah. Padahal Kabupaten Pohuwato memiliki sejumlah fasilitas representatif seperti hotel, aula, dan ruang pertemuan pemerintah yang bisa digunakan. Mirisnya, Dinas PMD justru ikut membiarkan pola lama birokrasi yang lebih menonjolkan kemewahan perjalanan dinas daripada esensi pelatihan. Jika efisiensi anggaran menjadi tolak ukur utama dalam evaluasi pejabat eselon II, maka Kepala Dinas PMD layak mendapat penilaian serius atas lemahnya kontrol kebijakan tersebut.
3. Pemberdayaan yang tidak terhubung dengan krisis nyata di lapangan.
Saat ratusan desa di Pohuwato masih menghadapi dampak sosial-ekonomi dari aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI), Dinas PMD justru tidak terlihat memimpin inisiatif pemberdayaan alternatif bagi masyarakat sekitar tambang.
Pun bisa kita lihat berdasarkan data Dinas Kesehatan Pohuwato per Oktober 2025 menunjukkan 702 kasus malaria sejak awal tahun, sebagian besar berasal dari desa-desa lingkar tambang seperti Desa Hulawa, buntulia, dengilo, teratai, bulangita, dan beberapa desa wilayah barat yang ada di daerah ini. Lubang-lubang bekas galian emas menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk malaria, tapi kita tidak terlihat program nyata desa tangguh lingkungan atau pemberdayaan berbasis mitigasi yang digagas dari Dinas PMD. Ketiadaan respon lintas sektor dari PMD menjadi bukti lemahnya kepemimpinan teknis dalam menghadapi krisis problematika lokal.