Oleh: Moh Irfandi Djumaati (Koordinator Rembuk Pemuda Kabupaten Pohuwato)
Pancasila bukan sekadar simbol ideologis, melainkan harus menjadi dasar normatif dalam segala perumusan kebijakan publik. Ketika sila-sila di dalam Pancasila ini bertemu langsung dengan praktik kekuasaan di lapangan, maka di situlah integritas ideologi bangsa diuji. Sayangnya, di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, tampak terlihat implementasi nilai-nilai Pancasila yang kian jauh panggang dari api, terutama dalam isu krusial, yakni: masalah pertambangan.
Pertambangan emas yang marak di Bumi Panua, Kabupaten Pohuwato telah memunculkan berbagai dampak ekologis, sosial, bahkan konflik horizontal. Namun sangat miris, respons Pemerintah Daerah (Pemda) lebih banyak terkesan berupa pembiaran atau bahkan fasilitasi terhadap korporasi besar, alih-alih melindungi rakyat dan alam. Ini bukan hanya kegagalan moral, akan tetapi juga pelanggaran terhadap amanah konstitusi dan regulasi lingkungan hidup.
Regulasi Yang Dilanggar/Diabaikan
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit menyatakan bahwa setiap kegiatan usaha yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun dari banyaknya kasus pertambangan rakyat maupun perusahaan tambang di Pohuwato, AMDAL tidak dijadikan dasar utama. Bahkan dalam sejumlah permasalahan, praktik tambang dilakukan di kawasan hutan lindung atau daerah tangkapan air, yang seharusnya wilayah itu dilindungi.
Lebih lanjut, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah diperbarui dengan UU No. 3 Tahun 2020, tapi penerapannya masih berpihak pada korporasi besar, bukan masyarakat lokal. Di Bumi Panua Pohuwato, izin usaha pertambangan (IUP) sering dikeluarkan tanpa partisipasi bermakna masyarakat, melanggar asas free, prior and informed consent yang menjadi prinsip internasional perlindungan masyarakat adat dan lokal.
Berdasarkan Teoritis: Gagalnya Fungsi Negara
Dalam teori negara hukum rechtsstaat, negara harus bertindak berdasarkan hukum untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat. Hans Kelsen mengemukakan bahwa hukum adalah norma tertinggi, bukan kekuasaan itu sendiri. Namun terlihat hari ini dalam berbagai problematika di Pohuwato, hukum tunduk pada logika pasar dan kepentingan oligarki. Bahkan ironisnya, pemerintah tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan broker yang memediasi antara kekuatan pemodal kapitalis dan sumber daya publik.
Lebih tajam lagi, teori environmental justice menuntut agar distribusi manfaat dan beban lingkungan dilakukan secara adil. Ketika hasil tambang menguntungkan segelintir elit, dan masyarakat menanggung kerusakan ekologi serta kehilangan ruang hidup, maka telah terjadi "ketidakadilan ekologis" yang sistematis. Tentu hal ini bertentangan langsung dengan sila kelima Pancasila: "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."
Pemerintah Bungkam: Pembiaran Yang Terstruktur