Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Berusaha Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Pensiunan Pengawas Sekolah, kini Wartawan Forum Keadilan Bali.com, Pemerhati Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

SPMB Berkualitas dan Berkeadilan, Waspadai Jual-Beli Kursi dan Pemalsuan Domisili

18 Juni 2025   09:40 Diperbarui: 18 Juni 2025   10:14 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses Pembelajaran di Kelas ( sumber: koleksi Pribadi)

Tahun ajaran baru segera akan dimulai. Meski demikian, euphoria tentang penerimaan murid  baru mulai menggeliat di tengah masyarakat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan  Pemerintah dalam hal ini Kemendikdasmen telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur mekanisme dan pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 dengan mengeluarkan Permendikdasmen Nomor 3 tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Siswa Baru (SPMB). Terbitnya Permendikdasmen ini tidak saja bertujuan untuk memberikan rambu-rambu pelaksanaannya di sekolah, namun juga dalam rangka (1) semua warga-khususnya peserta didik- memperoleh akses pendidikan berkualitas yang dekat dengan domisili,(2) memberikan akses pendidikan bagi keluarga kurang mampu dan penyandang disabelitas,(3) terjadinya peningkatan prestasi siswa serta,(4) meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penerimaan siswa baru. Oleh sebab itu, pelaksanaan penerimaan siswa baru tahun 2025 ini dilaksanakan dengan pendekatan yang objektif, transparan, akuntabel, berkeadilan serta tanpa diskiriminasi kecuali sekolah dengan kekhususan.

Berpijak dari pengalaman carut marut pelaksanaan penerimaan siswa baru tahun-tahun sebelumnya (sesuai dengan Permendikbudristek nomor 1 tahun 2021, tentang PPDB) maka selayaknya semua pihak memperhatikan sejumlah permasalahan krusial yang berpotensi merusak dan mengganggu pelaksanaan SPMB tahun 2025 ini. Polemik yang terjadi pada setiap awal tahun pelajaran yang berlangsung dari tahun ke tahun umumnya disebabkan oleh ketidakpuasan para orang tua terhadap hasil seleksi yang dilakukan sekolah. Ketidakpuasan tersebut dipicu oleh sejumlah faktor. Mulai dari indikasi adanya jual beli kursi hingga indikasi pemalsuan dokumen domilisi. Alih-alih memberikan ruang akses yang lebih adil bagi suma anak bansa, sejumlah penyimpangan tersebut justru mencederai semangat pemerataan akses pendidikan. Dan jika hal ini tidak bisa diatasi maka potrem buram sistem penerimaan siswa/murid baru akan kembali mewarnai jagat pendidikan di Indonesia.

Pemerintah sesungguhnya tidak menutup mata dan telingan perihal potensi polemic pelaksanaan penerimaan siswa baru. Tentu ini berdasarkan refleksi dan kajian pelaksanaan penerimaan peserta didik baru tahun-tahun sebelumnya. Oleh sebab itulah Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Faisal Syahrul, dalam pemantauan awal pelaksanaan SPMB tahun ini (detik.com) menemukan sedikitnya empat temuan serius. Pertama, adanya indikasi praktik jual-beli kursi yang dilakukan melalui jalur afirmasi, mutasi, dan prestasi. Kedua, maraknya pemalsuan dokumen domisili yang berdampak pada tersingkirnya calon murid yang tinggal dekat dengan sekolah. Ketiga, belum tersedianya sistem verifikasi lintas sektor secara memadai antara data pendidikan, sosial, dan kependudukan. Keempat, lemahnya kanal pengaduan masyarakat dan lambatnya respons terhadap laporan yang masuk. Dalam kontek ini maka Kemendikdasmen mengajak seluruh stakeholder pendidikan untuk bergantengan tangan berkolaborasi untuk menutup celah-celah yang berpotensi untuk mencederai pelaksanaan SMPB tahun 2025. Dengan demikian, SPMB benar-benar berjalan dengan lebih baik, transparan, serta berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip dan pendekatan yang telah ditetapkan.

Apa yang disampaikan Irjen Kemendikdasmen tersebut tentunya ada benang merah dengan temuan dari Ombudsman Indonesia. Sebagai salah satu lembaga yang paling inten mengikuti pelaksanaan penerimaan murid baru dari tahun ke tahun, ombudsman memiliki pengalaman yang tak terbantahkan dan memahami betul apa yang terjadi selama pelaksanaan penerimaan siswa baru. Tidak mengejutkan jika rekomendasi yang disampaikan Ombudsman memiliki kesamaan denga napa yang diungkapkan oleh pemerintah. Dalam sebuah paparan salah seorang perwakilan Ombudsman Mei lalu merilis sejumlah rekomendasi terkait dengan pelaksanaan penerimaan siswa baru. Hal yang direkomendasikan yakni; ketimpangan jumlah sekolah negeri, lemahnya verifikasi dokumen, miskordinasi lintas sektor untuk mengakomodir penerimaan siswa melalui jalur afirmasi.

Afirmasi yang Salah Sasaran

Jalur afirmasi sejatinya merupakan upaya pemerintah untuk memberikan akses lebih besar kepada siswa dari keluarga tidak mampu, difabel, atau kelompok rentan lainnya agar dapat bersekolah di tempat yang berkualitas. Kelompok inilah sesungguhnya yang paling membutuhkan jalur ini dalam rangka peningkatan kualitas diri dan keluarga mereka. Melalui jalur afirmasi ini kelompok marginal ini diberikan ruang untuk bertumbuh. Dan pada saatnya nanti mereka akan mampu menjadi "gunting" pemutus rantai kemiskinan dan keterbelakarangan yang diwarisi. Namun kenyataannya, celah dalam sistem dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Praktik "jual-beli kursi" kerap dibungkus rapi melalui surat keterangan tidak mampu palsu atau pemanfaatan kuota afirmasi oleh mereka yang sebetulnya tidak memenuhi syarat. Mirisnya lagi, praktik niretika ini sering kali dilakukan oleh oknum yang tidak saja memiliki kemampuan intelektual tinggi dan terkadang tokoh berpengaruh, namun juga berasal dari kalangan menengah ke atas.

Fenomena seperti ini akan tetap berlanjut jika para pihak yang terkait tidak melakukan terobosan dan inovasi. Minimnya koordinasi antara Dinas Pendidikan dengan instansi lain seperti Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) merupakan salah satu permasalahan yang kerap muncul ke permukaan. Sehingga seseorang yang karena meliliki relasi dengan pengambil kebijakan, dengan mudahnya memperoleh surat keterangan miskin atau domisili. Untuk itulah perlu kiranya kordinasi yang lebih intens antara lembaga terkait. Bila memungkinkan dibentuk tim kerja bersama yang memungkinkan pelaksanaan pemberian surat keterangan bisa dilakukan dengan sistem silang. Dengan demikian, Verifikasi silang terhadap data penerima bantuan sosial atau kondisi domisili bisa dilakukan secara optimal dan maksimal. Kerjasama dalam bentuk tim kerja lintas sectoral ini tentunya akan memberikan jaminan lebih bagi murid-muris yang berhak untuk menggunakan jalur afirmasi ini.

Jika saja kordinasi lintas sectoral ini bisa dijalin dengan baik, maka tidak akan ada lagi keluh kesah para orang tua yang kecewa lantaran anak mereka tidak diterima di sekolah yang jarak rumahnya hanya ratusan meter dari lokasi sekolah. Sementara gara-gara memiliki koneksi dan relasi dengan pejabat penduduk dari luar kecamatan yang jaraknya jauh dari sekolah bisa menggantikan posisi warga dekat sekolah hanya karena memiliki kartu domisili. Pemalsuan dokumen domisili atau mungkin kartu domisili aspal ( asli tapi palsu) bukan modus baru dalam SPMB. Fenoeman ini sesungguhnya marak terjadi sejak sistem zonasi diterapkan pertama kali tahun 2017. Sayangnya, kasus seperti ini terus berulang. Perpindahan KK secara temporer atau manipulasi alamat dalam surat keterangan domisili menjadi siasat umum. Sayangnya, sistem yang seharusnya mendeteksi ketidakwajaran ini belum cukup tangguh. Lemahnya sistem informasi terintegrasi antarinstansi menjadi celah besar. Meski Kemendagri melalui Dukcapil telah mengembangkan sistem validasi data kependudukan berbasis NIK, belum semua daerah memanfaatkannya secara maksimal untuk proses SPMB. Belum lagi ada indikasi permainan oknum aparat di tingkat kelurahan/ desa yang bermain mata dengan pihak berkepentingan. Akibatnya, sekolah dan dinas pendidikan masih mengandalkan verifikasi manual yang rentan disalahgunakan. Dalam kontek ini, sepertinya dibutuhkan piranti atau aplikasi digital yang mampu mendeteksi apakah dokumen kependudukan yang dimiliki calon siswa khususnya dari jalur domisili benar-benar valid atau tidak.

Kanal Pengaduan yang Tumpul

Sebagaimana yang tertuang dalam Permendikdasmen Nomor 3 tahun 2025, bahwa pelaksanaan SPMB selain bertujuan untuk memberikan kesempatan dan akses pendidikan yang sama bagi seluruh warga, juga memberikan kesempatan bagi seluruh warga untuk terlibat dalam proses SPMB ini. Maka dalan kontek ini dibutuhkan kanal pengadua yang tidak saja responsive dalam menjawab aduan dari masyarakat, namun juga tanggap dalam memberikan solusi jika muncul permasalahan. Pengalaman yang terjadi selama ini banyak pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat melalui kanal pengaduan resmi yang ada di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun propinsi kurang responsive. Dan jikapun ada respon hanya bersifat formalitas. Akibatnya banyak aduan warga yang disampaikan melalui media sosial. Anehnya, ketika muncul di media sosial baru memperoleh tanggapan dari pihak terkait. Dengan kata lain jika tidak viral maka tidak akan ada tindak lanjut. Kondisi ini mencerminkan krisis akuntabilitas dalam sistem pendidikan kita. Ketika laporan masyarakat tidak ditanggapi, maka legitimasi kebijakan pun runtuh, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah kian menipis.

Dibutuhkan Sinergi dan Transparansi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun