Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Antara Perbaikan Ekonomi dan Konservasi Lingkungan, Mana Prioritas Pemerintah?

29 November 2020   20:18 Diperbarui: 29 November 2020   20:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 belum juga usai, berbagai sektor kehidupan nasional kian menjadi korban, tak terkecuali sektor ekonomi dan lingkungan. Sesuai data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pada kuartal III-2020 ekonomi Indonesia minus 3,49 persen, melanjutkan laju ekonomi di kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32 persen. 

Tentu kondisi prekonomian hari ini tidak bisa didiamkan begitu saja oleh pemerintah. Namun, permasalahan lingkungan juga merupakan aspek yang paling terdampak oleh Covid-19, yaitu meningkatnya jumlah limbah plastik dari limbah rumah tangga, dan limbah medis. Sebuah kajian yang disusun Dr. Costas Velis dari Universitas Leeds mengungkapkan bahwa sampah plastik sebanyak 1,3 miliar ton diperkirakan akan mencemari daratan dan lautan dunia pada 2040 mendatang. 

Selain itu, dilansir dari SCMP (South China Morning Post), penggunaan plastik sekali pakai terus meningkat. Di Asia Tenggara sendiri, ada lebih dari 50 persen dari delapan juta ton sampah plastik yang berakhir di lautan dunia setiap tahunnya. Sampah-sampah plastik tersebut berasal dari Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 saat ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa jumlah limbah medis dari Pandemic COVID-19 ini meningkat 30 persen, sedangkan kapasitas pengolahan limbah B3 medis di beberapa daerah terutama di luar Jawa masih terbatas. 

Selain itu, berdasarkan data Sustainable Waste Indonesia pada tahun 2018, dari 64 juta ton sampah, ternyata 64 persen paling banyak bersumber dari rumah tangga.  Namun, selama pandemi COVID-19 ini diketahui jumlah sampah rumah tangga mengalami peningkatan sekitar 25%. Dampak dari limbah rumah tangga dan limbah medis ini tentu akan sangat berbahaya bagi ekosistem laut, terlebih di saat musim hujan seperti sekarang ini, limbah-limbah biasanya akan bermuara ke lautan.

Tentu hal ini juga harus menjadi perhatian pemerintah, terlebih Indonesia merupakan negara maritim. Sebagaimana informasi yang di lansir dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa laut Indonesia masuk dalam area Segitiga Karang Dunia, yaitu area dengan keanekaragaman biota laut, terutama karang, yang paling tinggi di dunia. Saat ini, terdapat 569 spesies dan 83 genus karang keras di Indonesia. Ini berarti, sekitar 69% spesies dan 76% genus karang dunia ada di Indonesia.

Sementara itu Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, setiap tahun sedikitnya sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi setiap tahunnya. Fakta tersebut menasbihkan Indonesia menjadi negara nomor dua di dunia dengan produksi sampah plastik terbanyak di lautan.

Maka yang perlu di highlight saat ini adalah, meningkatnya jumlah sampah plastik yang berasal dari limbah rumah tangga dan limbah medis, yang tidak hanya berasal dari Indonesia, namun juga dari berbagai negara, sehingga hal ini akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan ekosistem laut. Apalagi dengan melihat bahwa sampah plastik ini sendiri sangat sulit untuk terurai. 

Dikutip dari Science Alert, sejumlah peneliti telah menempatkan sampel plastik di 4.150 meter (13.615 kaki) di bawah permukaan Samudra Pasifik timur. Dari hasil observasi, ditemukan bahwa sebagian besar plastik masih sepenuhnya utuh. Dan bahkan, peneliti menyebutkan bahwa sampah plastik yang ada di lautan tak terurai sedikit pun selama 20 tahun lamanya. Padahal sampah plastik yang tidak terurai dapat meracuni tanah di darat dan dapat membunuh 1.000 hewan yang ada di laut karena menganggap makanannya.

Walaupun di sisi lain memang ada beberapa dampak positif dari pendemi Covid-19 ini bagi lingkungan. Misalnya dilihat dari kualitas air, walaupun keberadaan limbah plastik juga masih terus meningkat. Namun, kegiatan pariwisata bahari yang terhenti menyebabkan lautan juga mengalami penurunan polusi suara, sehingga menurunkan tingkat stres makhluk laut seperti ikan paus dan membuat biota laut dapat bermigrasi lebih tenang. Secara global, fenomena lainnya terlihat di kawasan Venesia, Italia. Tempat wisata air tersebut menjadi lebih bersih, kanal yang biasanya berwarna keruh terlihat jernih selama Pemerintah Italia menerapkan peraturan lockdown. 

Adanya kebijakan pembatasan sosial dan lockdown di beberapa negara juga berdampak positif bagi keanekaragaman hayati flora dan fauna. Berdasarkan laporan organisasi nirlaba Plantlife, berbagai jenis tanaman dan bunga terlihat tumbuh lebih banyak daripada biasanya. Efeknya, kehadiran hewan seperti burung, kupu-kupu, dan lebah di taman pun kian marak.

Adapun menurut hasil penelitian dari Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang merilis bahwa emisi CO2 dunia tercatat mengalami penurunan hingga 17% akibat karantina Covid-19 yang diterapkan di berbagai negara. Hampir setengah (43%) dari penurunan emisi global selama puncak lockdown berasal dari sektor transportasi dan industri, terutama kendaraan bermotor dan pabrik manufaktur komersial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun