Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Semut dan Filosofi Kehidupan Sosial

30 Oktober 2020   20:12 Diperbarui: 3 November 2020   02:05 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi semut | Foto oleh Poranimm Athithawatthee dari Pexels

Sebagian besar dari kita tahu bahwa semut hidup berkoloni dan di antara mereka terdapat pembagian kerja yang sempurna. Jika diteliti, kita dapati sistem mereka memiliki struktur sosial yang cukup menarik. Mereka pun mampu berkorban pada tingkat yang lebih tinggi daripada manusia. Salah satu hal paling menarik dibandingkan manusia, mereka tidak mengenal konsep semacam diskriminasi kaya-miskin atau perebutan kekuasaan. 

Banyak ilmuwan yang bertahun-tahun melakukan penelitian mendalam namun tak mampu menjelaskan perilaku sosial semut yang begitu maju. Caryle P. Haskins, Ph.D., kepala Institut Carnegie di Washington menyatakan: Setelah 60 tahun mengamati dan mengkaji, saya masih takjub melihat betapa canggihnya perilaku sosial semut. 

Semut merupakan model yang indah untuk kita gunakan dalam mempelajari akar perilaku hewan. Sebagian koloni semut begitu padat populasinya dan begitu luas daerah hidupnya, sehingga tak mungkin bisa dijelaskan bagaimana mereka dapat membentuk tatanan yang sempurna. Jadi, pernyataan Dr. Haskins sulit dibantah. 

Sebagai contoh koloni yang besar ini, misalnya spesies semut Formica yesensis, yang hidup di pantai Ishikari, Afrika. Koloni semut ini tinggal di 45.000 sarang yang saling berhubungan di wilayah seluas 2,7 kilometer persegi. Koloni yang memiliki sekitar 1.080.000 ratu dan 306.000.000 pekerja ini dinamai "koloni super" oleh para peneliti. 

Ditemukan bahwa semua alat produksi dan makanan dipertukarkan dalam koloni secara tertib. Sungguh sulit menjelaskan bagaimana semut-semut ini mempertahankan ketertiban tanpa masalah, mengingat luasnya tempat tinggal mereka. Harus diingat, untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban sosial, bahkan di negara beradab dengan sedikit penduduk pun, diperlukan berbagai kekuatan keamanan. 

Namun, koloni semut tidak memerlukan polisi, satpam, atau hansip. Dan mengingat tugas sang ratu yang kita anggap sebagai pemimpin koloni hanya melestarikan spesies, semut-semut ini sebenarnya tidak punya pemimpin atau penguasa. Jadi, di antara mereka tidak ada hierarki berdasarkan rantai komando. Lalu siapa yang menentukan ketertiban ini dan menjaga keberlanjutannya?

Tapi baiklah, terlepas dari berbagai pertanyaan-pertanyaan ilmiah di atas, biarlah itu menjadi suatu masalah yang harus dipecahkan oleh para ilmuwan. Rasanya kita perlu belajar banyak akan filosofi kehidupan sosial dari mahluk yang bernama semut.

Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap eksis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial (Social Being). Keberadaanya tergantung oleh manusia lain. 

Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah bentuk dari asas sosialitas. 

Dengan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, di atas rasio yang ia miliki, maka manusia seharusnya mampu untuk mengilhami posisi dirinya dalam turut serta mewujudkan suatu keteraturan dalam kehidupan sosial sebagai bentuk kesadaran akan nilai kebersamaan yang harus dijaga. 

Seiring berkembangnya peradaban manusia, terlebih di tengah masyarakat modern yang ditandai oleh sifatnya yang plural, baik dari aspek norma, nilai, maupun kepentingan. Setiap norma, nilai dan kepentingan ini tidak berada secara terisolasi dari yang lainnya, melainkan saling berhubungan dan bahkan saling bergantung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun