Mohon tunggu...
Amyra Noor El Fadhila
Amyra Noor El Fadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Seorang mahasiswa yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Geng Solo di 2029

30 September 2025   18:00 Diperbarui: 30 September 2025   18:34 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditulis oleh: Amyra Noor El Fadhila  

“Geng Solo di 2029.” Kalimat itu terdengar seperti satire politik, tapi sayangnya bukan. Bukan sekadar gosip, bukan sekadar ejekan, melainkan gambaran politik Indonesia yang makin nyata. Dari satu kota kecil bernama Solo, lahirlah lingkaran kekuasaan yang kini menjadi pusat politik nasional. Padahal, rakyat Indonesia itu besar, generasinya luas, dan potensinya tak terbatas. Kenapa lingkar kekuasaan seakan-akan hanya milik satu geng?

Dinasti politik bukan hal baru di Indonesia. Dari tingkat desa sampai pusat, praktik ini sudah lama hidup. Anak menggantikan bapak, istri menggantikan suami, saudara menggantikan saudara. Alasannya selalu sama: “sudah berpengalaman”, “sudah terbukti” atau “sudah tahu?.” Tapi sejatinya, itu hanyalah alasan untuk tetap berkuasa. 

“Geng Solo” hanya contoh paling terang. Apakah ini salah secara hukum? Tidak. Tapi apakah sehat secara demokrasi? Jelas tidak. Rakyat memang memilih, tapi pilihannya sudah sempit. Kita hanya diberi daftar kandidat yang ditentukan oleh geng tertentu, lalu disuruh merasa berdaulat. Skeptis mungkin akan berkata: “Tapi kan rakyat tetap yang memilih, berarti sah-sah saja.” Jawaban sederhananya: iya, rakyat memilih, tapi apakah semua kandidat punya kesempatan yang sama untuk tampil? Kalau akses media, modal, jaringan, dan partai hanya muter di satu keluarga, maka rakyat sebenarnya sedang memilih dalam ruang sempit yang sudah dipagari.

Jejak “Geng Solo” dalam Politik

Awalnya sederhana: Jokowi, wali kota Solo, dengan gaya blusukan-nya yang merakyat, berhasil mencuri perhatian nasional. Dari Solo, ia melesat ke Jakarta sebagai gubernur, lalu dua periode menjadi presiden. Itu prestasi, memang. Tapi dari situ pula kita melihat cikal bakal “politik keluarga” yang mulai dibangun.

Gibran Rakabuming melompat kilat dari pengusaha kuliner jadi wali kota Solo, lalu langsung ke kursi calon wakil presiden 2024.

Kaesang Pangarep naik jadi ketua umum partai politik (PSI), meski belum punya pengalaman panjang di dunia politik.

Selain itu, mekanisme yang membuka jalan Gibran bisa maju dianggap cuma formalitas saja. Putusan MK menjadi bukti paling jelas bahwa hukum bisa dipelintir demi kepentingan politik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan bagi calon di bawah usia 40 tahun untuk maju sebagai capres atau cawapres jika pernah menjabat kepala daerah, dianggap sebagai “karpet merah” bagi Gibran. Putusan ini semakin kontroversial karena dibacakan saat Ketua MK adalah Anwar Usman, ipar Jokowi. Meskipun belakangan Anwar diberi sanksi etik, namun nasi sudah menjadi bubur, jalan bagi Gibran sudah terbuka lebar.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa “politik keluarga” sudah bukan lagi sekadar isu, melainkan strategi nyata. Pertanyaannya, ini cuma kebetulan atau memang jalan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari? Apakah kita sedang melihat lahirnya dinasti politik baru yang semakin kuat akarnya? Kalau kursi kekuasaan hanya diputar-putar dalam lingkaran keluarga, apa bedanya dengan kerajaan? Bedanya mungkin hanya satu, di kerajaan, kita tak perlu repot pemilu, karena semua sudah jelas diwariskan.

Agenda Politik “Geng Solo” Menuju 2029

Langkah mendorong Gibran di 2024 hanyalah awal. Ada agenda lebih besar yang bisa dibaca jika melihat dinamika politik jangka panjang.

Pertama, menjaga pengaruh Jokowi pasca-presidensi. Setiap presiden tentu ingin memastikan warisan programnya tidak dibongkar oleh penerus. Dengan Gibran duduk di kursi wakil presiden, Jokowi masih memiliki tangan untuk tetap memengaruhi arah kebijakan nasional, meskipun tidak lagi memegang kekuasaan resmi. Kehadiran Gibran bisa menjadi “penjaga warisan” sekaligus perpanjangan tangan politik Jokowi di pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun