Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Ujian Kejujuran Diri (15)

3 Juli 2015   23:23 Diperbarui: 3 Juli 2015   23:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TUHAN TAK MUNGKIN BISA DI KELABUI

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Bulan Ramadhan, sisi lain seringkali berwujud menjadi bulan pengingat. Kira-kira seperti itu yang saya rasakan dan pahami. Mungkin juga bagi orang lain. Setiap kali Ramadhan datang, kisah-kisah masa lalu selalu datang menari-nari di benak. Kisah-kisah lalu hadir membayang, lalu mengaduk-aduk rasa suka dan seringkali rasa pilu. Bahkan orang-orang dekat yang telah meninggalkan dunia ini, wajahnya datang kembali membias di lubuk nurani paling dalam.

Setiap kali Ramadhan, wajah dan kisah kasih bersama almarhum ayah saya seringkali datang menggoda. Perasaan saya dibuat luluh lantak. Ingin rasanya mengajak masa-masa indah itu untuk kembali seperti sediakala. Tapi hasrat seperti itu tak lagi mungkin terjadi, apalagi mau untuk di ulang. Semuanya terlanjur berlalu. Tapi ingatan-ingatan masa lalu seperti itu, selalu saya hayati sebagai satu sisi lain betapa luas hikmah dikandung oleh bulan suci Ramadhan.

Setiapkali Ramadhan datang, kisah kebodohan saya menunaikan puasa masa kanak-kanak di kampung, selalu datang menghardik. Saat Ramadhan, saya seringkali mengajak teman untuk bermain di sungai samping rumah. Sementara di benak saya tersimpan niatan lain. Berada di sungai itu, berulangkali saya menyelam ke dasar. Berada di dasar sungai, saya meneguk air untuk menghilangkan rasa dahaga, padahal saya tengah menunaikan ibadah puasa.

Jika kisah kebodohan masa kanak-kanak di kampung itu datang, perasaan serasa terhardik. Logika saya mengatakan, merusak puasa dengan menelan beberapa teguk air, sama sekali tak sebanding dengan menahan lapar sehari. Tapi itulah kisah ketidakjujuran saya pada diri sendiri. Merusak puasa secara sembunyi karena takut orangtua. Saya berhasil mengelabui Ayah saya. Tapi Tuhan tak mungkin saya kelabui. Tetap melihat saya meneguk air di sungai.

Faisal-Makassar, 15 Ramadhan 1436 H/02 Juli 2015 M.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun