Mohon tunggu...
Amsal Ginting
Amsal Ginting Mohon Tunggu... -

Dokter lulusan Universitas Indonesia. Saat ini melayani melalui sebuah organisasi kemanusiaan di pulau Sumba NTT.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilih Presiden Peduli Masa Depan, Pilih Presiden Peduli Anak!

26 Juni 2014   15:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:49 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 merupakan tonggak sejarah penting bagi bangsa. Pilpres yang dilakukan secara langsung ini dilaksanakan 16 tahun setelah masa reformasi yang merupakan titik balik sejarah Indonesia. Pada masa itulah mulainya  demokrasi secara langsung dijalankan, dan rakyat mendapatkan hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri (Bupati, Gubernur bahkan Presiden) tanpa perlu diwakili orang lain. Selain itu, banyak perubahan-perubahan mendasar yang terjadi; kebebasan pers tanpa perlu ketakutan akan dibredel, mengembalikan fungsi TNI untuk pertahanan Negara,  penguatan otonomi daerah, dan lain-lain. Pemerintahan yang sebelumnya sangat “centralistic” (semuanya ditentukan dari pusat) berubah dengan pendekatan desentralisasi. Masyarakat di daerah diberikan porsi yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya dan membuat keputusan-keputusan yang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Semua perubahan-perubahan yang dimulai sejak reformasi tersebut, pada akhirnya di harapkan akan memberikan kesejahteraan pada rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita negara ini dididirikan.

Tetapi tampaknya, optimisme dan harapan-harapan yang sangat besar saat awal reformasi ternyata tidak bisa tercapai dengan mudah seperti membalik telapak tangan. Masa lebih dari sepuluh tahun ternyata masih jauh dari cukup untuk membawa kesejahteraan yang dicita-citakan.

Malah sebaliknya, reformasi yang membawa arus kebebasan justru ibarat melepaskan kuda liar dari kandangnya. Angin kebebasan bertiup tanpa terkendali dan atas nama demokrasi, kelompok-kelompok masyarakat tertentu mulai memaksakan paham dan kehendak mereka walaupun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebangsaan yang menjadi pilar negeri. Pancasila yang dahulu merupakan dasar Negara yang dipegang dengan kuat dan menjadi satu-satunya asas berbangsa akhirnya malah “ditinggalkan” karena tidak dianggap sesuai dengan keinginan golongan tertentu.

Demokrasi yang memiliki prinsip-prinsip “one man one vote” (satu orang memiliki satu suara) akhirnya menyuburkan tirani mayoritas terhadap minoritas. Kelompok yang banyak menjadi penguasa dan mulai memaksakan kehendak mereka dan “menekan” kelompok-kelompok minoritas. Para kepala daerah yang terpilih tidak mampu berbuat banyak terhadap tekanan-tekanan dari pihak mayoritas karena mereka sendiri memang berasal atau didukung oleh kelompok tersebut. Benar atau salah ditentukan oleh yang paling banyak. Kasus-kasus penutupan dan penyerangan rumah ibadah misalnya menjadi salah satu contoh dari hal tersebut dan Negara seringkali terkesan malah membela mayoritas. Keadaan ini membuat akhirnya banyak orang-orang yang kecewa dan mulai meragukan proses reformasi itu sendiri, bahkan merindukan situasi masa masa sebelum reformasi. Hal ini tentunya tidaklah terlalu aneh, kejadian yang sama juga dialami sebagian penduduk Indonesia saat awal-awal kemerdekaan, ada sebagian rakyat yang merindukan kembali situasi di jaman penjajahan.

Kemerdekaan dan reformasi bukanlah tujuan melainkan awal dari perjuangan dan perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih baik dengan melewati badai dan tantangan. Masalah dan tantangan seharusnya tidak membuat kita menyerah apalagi memilih mundur ke belakang.

Karena itu, Pilpres ini menjadi sangat penting dan bisa berpengaruh kepada arah bangsa ke depan. Reformasi dan demokrasi yang sudah dipakai harus dijaga dan diteruskan ke arah yang seharusnya. Demokrasi yang berlangsung harus dipastikan tetap berjalan dalam koridor sendi-sendi kebangsaan yang diletakkan oleh para pendiri bangsa. Presiden yang terpilih akan sangat menentukan nasib bangsa dan anak-anak kita ke depan, karena itu kita harus ikut dan bijak memilih.

Siapa presiden yang layak dipilih? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang paling sering diperdebatkan dimana-mana. Tidak hanya di kota besar, atau melalui media-media sosial tetapi menjadi pembicaraan sampai di pasar, pinggir jalan dan desa-desa terpencil.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami tujuan hakiki dibentuknya sebuah negara atau pemerintahan. Pemilihan pemimpin pemerintahan tentunya merupakan konsekuensi logis dari hal tersebut. Pemimpin pemerintahan tidak terbatas kepada presiden tetapi berlaku juga untuk Gubernur, Bupati dan bahkan juga para Kepala Desa.

Melihat sejarah bangsa Indonesia dan negara-negara lain, negara di dirikan oleh rakyatnya untuk membawa kesejahteraan kepada rakyat yang membentuknya. Pemerintah di pilih dan di tunjuk oleh rakyat  dan di “gaji” oleh rakyat melalui pajak yang mereka bayar atau dari sumber daya yang dipercayakan kepada pemerintah tersebut. Pemerintah (termasuk Presiden dan seluruh jajarannya) menjadi “pelayan” bagi rakyat menggaji mereka, bukan sebaliknya.

Konsep ini secara konseptual dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar. Slogan abdi masyarakat yang menjadi slogan para pegawai Negeri Sipil cukup menjelaskan tugas dan fungsi pemerintahan yang ada. Dari asal katanya, “abdi” berarti “budak”, atau hamba. Setiap orang yang menjadi bagian dalam pemerintahan seharusnya menjadi hamba rakyat.

Sebelum kita menentukan pilihan, ingatkan diri sendiri bahwa kita bukan sedang memilih raja atau penguasa tetapi memilih pelayan yang akan melayani rakyat menuju masa depan yang lebih baik. Karena itu, hal yang paling penting dalam memilih pemimpin adalah pilihlah pemimpin yang mau melayani.  Bukan hanya pemimpin yang “gagah-gagahan” atau pemimpin yang jago perintah-perintah, tetapi pemimpin yang secara tulus mau melayani masyarakatnya. Presiden harus berpikir di pihak rakyat, bukan hanya menguntungkan para pejabat atau orang-orang tertentu saja.

Hal yang kedua, pilihlah pemimpin yang tidak korupsi dan punya komitmen dalam memberantas korupsi.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Hasil tambang Freeport misalnya, jika dibagikan kepada seluruh rakyat Papua adalah Rp. 5,7 Milyar per orang termasuk anak-anak!.

Kekayaan Negara yang berlimpah-limpah ternyata habis di korupsi oleh oknum-oknum pejabat Negara sendiri. Setiap hari di televisi, kita tercengang-cengang atas banyaknya Gubernur, Bupati, Anggota DPR, pemimpin partai bahkan Menteri yang ditangkap KPK karena korupsi. Alih-alih menjadi pelayan masyarakat, mereka ternyata hanyalah pencuri uang rakyat. Herannya mereka malah senyum-senyum dan keluarganya sendiri sudah seperti tidak punya rasa malu!

Ketiga, pilihlah pemimpin yang berpihak kepada Kebhinekaan Indonesia. Presiden yang terpilih haruslah menjadi Presiden yang bisa melindungi dan mengayomi seluruh rakyat yang memiliki suku, agama, ras, golongan, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Presiden harus berani bertentangan dengan golongan-golongan yang berkeinginan untuk menggantikan dasar Negara atau memaksakan keinginan mayoritas terhadap minoritas. Mayoritas atau minoritas harus dipandang sama di mata hukum dan pemerintahan. Posisi dan jabatan dalam pemerintahan harus berdasarkan kemampuan dan profesionalitas bukan berdasarkan suku, agama, ras atau golongan. Pemerintah harus memihak kepada yang benar bukan berpihak pada yang besar. Kedua pihak harus diperlakukan dengan sama. Ungkapan bahwa yang mayoritas harus melindungi yang minoritas dan yang minoritas harus menghormati yang mayoritas adalah ungkapan yang secara implisit bertentangan dengan prinsip kebhinekaan itu sendiri. Apakah berarti yang mayoritas tidak perlu menghormati yang minoritas?

Bagian terakhir adalah pilihlah Presiden yang berpikir masa depan, bukan hanya kepentingan sesaat. Kompetisi global yang sedang dan akan terjadi memaksa bangsa kita untuk harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Peperangan saat ini bukanlah perang senjata atau perang militer. Belajar dari sejarah Uni Soviet atau Korea Utara, angkatan perang yang besar ternyata tidak membuat suatu bangsa menjadi maju dan makmur apalagi menjadi bangsa yang dihormati.

Perang saat ini dan masa depan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan nilai-nilai yang dihidupi oleh bangsa. Beberapa tahun lalu ada teman dari KPK yang memaparkan faktor penentu kemakmuran suatu bangsa.  Dari ratusan bangsa di dunia ini yang diteliti, berhasil atau tidaknya suatu bangsa bukanlah ditentukan oleh luas wilayah, lama merdeka, hasil alam yang tersedia, atau persentase penduduk yang sarjana. Faktor terpenting yang menentukan berhasil tidaknya suatu negara ditentukan oleh nilai-nilai yang dihidupi bangsa tersebut khususnya mental kerja keras dan rasa malu terhadap korupsi.

Untuk dapat melakukan perubahan pada nilai-nilai dasar masyarakat dan karakter bangsa membutuhkan proses yang cukup panjang melebihi hanya satu atau dua generasi. Mengajarkan masyarakat untuk sportif, antri menunggu hak, jujur, kerja keras, hidup sederhana dan tidak menerima suap tentunya harus dimulai dari kecil.

Presiden terpilih haruslah Presiden yang peduli kepada anak. Anak adalah masa depan kita. Merekalah yang menentukan apakah bangsa kita bisa bersaing ke depan atau tertindas oleh perkembangan jaman. Situasi anak Indonesia saat ini masih cukup memprihatinkan, banyak anak yang putus sekolah, dijual, dipekerjakan, menerima kekerasan, bahkan  mengalami eksploitasi seksual.

Jim Collin dalam bukunya “Good to Great” (diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Baik menjadi Hebat), membuktikan bahwa pemimpin sangat menentukan apa yang akan terjadi. Prinsip utama yang dituliskan dalam buku yang menjadi best seller tersebut adalah : “Siapa dahulu baru apa”.

Apa yang akan  dikerjakan atau dikatakan oleh para calon Presiden tidaklah penting, yang paling penting adalah siapa Presidennya. Kalau kita saksikan kampanye Presiden, Gubernur, Bupati, atau bahkan Kepala Desa, hampir semuanya menjanjikan program-program yang sangat baik.  Tetapi mengapa ada yang berhasil dan ada yang tidak? Sekali lagi masalahnya bukan pada apa yang dilakukan tetapi siap yang melakukannya.

Teliti dengan seksama kedua Capres kita. Lihat rekam jejak mereka, jangan hanya terpana pada tampilan luar atau kata-kata dan janji-janji mereka. Kita membutuhkan Presiden yang melayani, jujur, sederhana, tegas dan mampu melindungi setiap warga Negara.

Diskusi yang terjadi akhir-akhir ini sering kali melakukan dikotomi militer dan sipil untuk sikap-sikap tersebut. Tegas dan melindungi seakan-akan hanya ada dalam capres yang berlatar belakang militer, sebaliknya sederhana dan melayani ada pada capres yang berasal dari pihak sipil.

Pemikiran tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Soekarno, Baharudin Lopa, Artijo Alkostar atau Ahok yang dikenal tegas ternyata tidak berlatar belakang militer.  Sebaliknya ada juga para tokoh-tokoh militer yang dikenal merakyat dan sederhana hidupnya, termasuk di dalamnya Jenderal Sudirman.

Selamat memilih demi masa depan bangsa, jangan golput atau memilih hanya karena ikut-ikutan atau hanya gagah-gagahan. Apalagi hanya mengikuti saran dari orang yang mendapat keuntungan pribadi kalau capres jagoan mereka bisa terpilih. Pada saat ada orang yang mengajak anda untuk memilih pasangan tertentu, pikirkan alasan mereka mendukung capres tersebut. Apakah mereka adalah caleg dari Partai pendukung yang harus “mengamankan” instruksi partai? Ataukah mereka adalah anggota tim sukses yang mungkin akan mendapat posisi kalau capres jagoannya menang? Ataukah mereka merupakan orang-orang bermasalah yang khawatir akan tidak bisa leluasa “bermain” atau malah masuk penjara jika capres jagoannya kalah?

Jika jawabannya ya, jangan ikuti saran mereka. Tanya hati nurani, dan satu-satunya alasan yang bisa diterima adalah jika anda yakin bahwa capres tersebut akan membawa Indonesia yang lebih baik.

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa membantu untuk menentukan pilihan yang lebih baik demi masa depan anak-anak kita dan Indonesia yang kita cita-citakan. Wariskan pemimpin dan negeri yang lebih baik untuk mereka.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun