Mohon tunggu...
Hartanto Amrunofhart
Hartanto Amrunofhart Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar ekonomi syari'ah | 083872230003 | Twitter @amrunofhart

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Comal, Riwayatmu Lebaran Kini

8 Agustus 2014   16:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jembatan Comal ambles tepat 6 hari sebelum tanggal yang kami sekeluarga putuskan untuk mudik, menimbulkan was-was tersendiri buat saya dan keluarga. Tak lama berselang, ada statement dari Pak Menteri bahwa dalam 5 hari perbaikan sementara akan selesai sehingga bisa dilewati untuk kendaraan kecil dan bertonase rendah.

Ya, mudik kali ini spesial buat warga udik seperti saya yang asli Comal. Dulu, agak susah kalo ditanya kampungnya mana? Dijawab Pemalang masih jarang yang mengenal kota Kabupaten kami itu, bahkan sering tertukar dengan Malang – Jatim, dijawab Pekalongan nyatanya secara administratif kota kecil kami memang bukan teritori Pekalongan meskipun secara geografis dan kultur lebih dekat kesana. Alhasil, dengan jembatan Comal jadi trending topic, maka kami pun bisa secara lugas menjawab : kami asli Comal.

Seingat saya, terakhir kali Jembatan Comal mengalami kerusakan berarti adalah saat saya masih kecil. Jadi, dengan diawali trending topic tadi, mudik kali ini pun membawa lebih banyak aroma masa kecil untuk saya pribadi.

Mudik untuk beberapa orang dan beberapa ulasan, adalah “ritual” untuk tidak melupakan kampung halaman. Sebagian lainnya mengartikan sebagai acara pembuktian eksistensi dan keberhasilan dari aktivitas perantauan. Sampai-sampai seorang teman berkelakar, kalo kita tidak mudik itu hanya ada dua kemungkinan; sombong saking kayanya sehingga tidak mau ketemu orang kampung, atau malu saking sengsaranya tidak punya ongkos pulang.

Bagi saya, yang kali ini membawa kedua anak saya yang masih balita, mudik sepertimembawa saya ke masa kecil. Sehingga kali ini yang ingin saya nikmati tidak hanya suasananya, namun juga aktivitas masa kecil yang sudah beberapa tahun tidak lagi terulang.

Masih ada dua hari sebelum 1 syawal ketika kami sampai di kampung, jadi ritual pertama yang saya buru adalah membuat ‘’wurung kupat”, sebentuk wadah dari anyaman janur pohon kelapa untuk membuat ketupat, makanan khas lebaran. Sedari kecil saya sudah diajari oleh Bapak untuk bisa memanjat pohon kelapa, mengambil janur, dan membuat wurung kupat. Sehingga pada masa kecil dulu, salah satu pundi lebaran saya adalah dari menjual wurung kupat ke Pasar Comal. Tapi kali ini saya tidak merenima pesanan komersial, beberapa pesanan keluarga besar pun cukup mengobati kangen saya pada aktivitas membuat wurung kupat ini seharian.

Saat bedug bertalu menyambut kehadiran bulan Syawal, bertandang ke Masjid terdekat dan bergantian menabuh bedug dan bertakbir-tahlil-tahmid menjadi aktivitas klangenan berikutnya. Yang hilang kali ini adalah bebunyian meriam bambu yang tergantikan dengan kembang api aneka rupa yang menghiasi angkasa desa. Juga, setiap rumah tidak lagi pasang lampu minyak dan kembang lebaran. Mungkin karena minyak tanah sekarang sudah sedemikian mahalnya. Tetap saja, ada yang hilang dari masa kecil saya.

Malamnya selalu ramai di kampung, kebanyakan berbondong ke tempat Kyai yang menjadi amil penerima dan pengelola zakat fitrah. Momen ini sekaligus sebagai ajang sowan ke Guru Ngaji sewaktu kecil dulu. Tapi sayang, Kyai Sepuh yang mengajari saya alif-ba-ta-tsa sudah beberapa tahun lalu berpulang. Dan, acara takbiran pun menjadi ajang silaturahmi dengan teman-teman kecil dahulu yang tentu kini sudah beranak-pinak. Ada yang sudah jadi RT, Kadus, bahkan lurah di kampung pun teman sepermainan dahulu.

Pagi pun menjelang, kumandang adzan shubuh 1 Syawal seolah selalu kesiangan mengingat kebanyakan penduduk kampung sudah bangun beberapa waktu sebelumnya untuk mempersiapkan diri menyambut sholat Ied berjamaah di Masjid kampung. Selepas khutbah sholat Ied, semua tangan saling berjabat dan mengucap maaf. Masjid pun seperti menjadi aula massal untuk pertemuan besar rakyat sekampung. Aktivitas ini masih berlanjut ke musholla2 terdekat, dimana setelah aktivitas sholat Ied, semua penduduk kampung mendatangi mushollanya dengan membawa masakan lebaran untuk bisa saling bertukar makanan dan menyantapnya bersama. Benar-benar terasa kebersamaan yang ada, rasanya memberikan hidangan terenak dari rumah untuk mendapat ganti sedapatnya itu benar-benar memupuk persaudaraan a la kampung.

Selesai urusan dengan yang hidup, tak lupa kita semua membawa do’a dan kembang untuk sanak keluarga yang sudah berpulang. Khusyu’ do’a beriring dengan sebentuk kenangan di setiap Ied yang telah berlalu dengan ahli kubur yang kita sambangi. Sekali lagi, lebaran selalu memberi romansa bahkan untuk hubungan yang telah terpisah oleh maut.

Baru setelahnya, setiap keluarga mengadakan halal-bihalal dengan keluarga besar yang ada.

1407463203123241051
1407463203123241051

Bonus lebaran kali ini adalah, Bapak saya sudah mulai jualan di hari kedua lebaran. Begitu banyak pesanan baso puyuh untuk acara halal-bihalal membuat beliau harus buka lapak lebih awal. Alhasil, saya pun dilibatkan dalam proses produksi sebagaimana dulu waktu kecil. Belanja adonan, membuat adonan, kupas telor yang sudah direbus dan membungkusnya dengan adonan, menjadi tanggung jawab saya ketika kecil dulu. Kali ini, kedua balita kami ikut nimbrung meski dengan orientasi berbeda, bermain sambil sesekali melahap telor rebus yang ada.

Begitulah lebaran saya, anak penjual baso puyuh, di Comal. Sekali lagi, saya asli Comal...iya, yang jembatannya ambles itu.

~amrunofhart~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun