Mohon tunggu...
amri ikhsan
amri ikhsan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang guru yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pokoknya Ujian Nasional

19 April 2013   19:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:56 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pokoknya Ujian Nasional…

Oleh: Amri Ikhsan*)

Ujian nasional (UN) merupakan acara rutin pemerintah setiap tahun. Setiap proses UN dimulai, mulai pula pro-kontra bermunculan. Dan ‘pemenangnya’ selalu pemerintah (baca-kemdikbud) dan tak terkalahkan. Dan setiap tahun penyelenggaraan, Kemdikbudselalu berinovasi dalam prosedur pelaksanaan sebagai bukti ada perubahan signifikan penyelenggaraan ujian tersebut.

Mulai dari UN yang dikomputerisasi, UN satu paket soal, UN dua paket, UN lima paket sampai UN 20 paket soal. Mulai dari soal UN yang disimpan di satuan pendidikan sampai disimpan dalam ruang tahanan kapolsek terdekat. Mulai dari kode manual sampai dengan barcode. Mulai dari pengawasan secara internal sampai pengawasan independent dari PT. Mulai dari hanya sebagai pemetaan sampai nilai UN untuk dijadikan syarat masuk PT.

Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Pasal 1 Permendiknas No 75 Tahun 2009). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; (b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan (d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Kenyataanya, hasil UN ‘memvonis’ siswa. Ini terlihat dari pengumuman hasil UN, status siswa: LULUS/TIDAK LULUS. Jelas sekali bahwa pemerintah telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Sama sekali tujuan UN bukan untuk menyatakan siswa itu lulus atau tidak.

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa dengan sistem UN seperti saat ini para siswa menjadi lebih rajin belajar. Siswa memang ‘belajar’. Belajar membahas soal dari pagi sampai siang disambung dengan les di sore haridengan pembahasan yangsama. Apakah ini yang dikehendaki pemerintah?.

Kalau begini fakta nya, kita sudah ‘mengabaikan’ UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II, pasal 3).

Dalam UU No 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidika sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Tapi kenyataannya dirasakan banyak sekolah yang siswanya gagal dalam UN, ternyata sekolah itu belum dibina secara komprehensif oleh pemerintah.

Kita mestinya mempertimbang hal yang dilupakan pemerintah dalam melaksanakan UN: (1) dalam hal kelulusan UN, bangsa Indonesia menjadi pemalu. Ketidaklulusan UN merupakan ‘aib’ bagi keluarga. Secara psikologis, anak menjadi trauma yang akan ‘mengganggu’ kehidupan akademik mereka; (2) Siswa yang belum lulus UN merupakan siswa yang ‘belum’ mau belajar, bukan karena bodoh atau malas tapi karena pada waktu itu, mereka belum menemukan ‘jati diri’ mereka atau tidak ada akses mereka untuk belajar; (3) tidak lulus UN menambah jumlah penggangguran, karena tidak lulus UN membuat siswa ‘patah hati’. Karena tidak lulus, mereka ‘dipastikan’ tidak bisa kuliah. Padahal sebagian mereka sangat berpotensi untuk duduk di perguruan tinggi. Niat mereka terganjal hanya karena tidak lulus UN; (4) tidak lulus UN menghambat anak negeri ingin berpartisipasi membangun negeridan membantu keluarganya. Banyak anak negeri yang mengandalkan ijazah SMA/MA untuk mencari pekerjaan. Anak mau membangun negeri dan membantu keluarganya, kok dilarang!

UN juga ‘mengacaukan’ program sekolah. Sekolah ‘melupakan’ semua kegiatan akademik yang lain hanya karena UN. Prinsip sebagian sekolah adalah lebih baik ilmu siswa ‘sedikit’ hanya untuk lulus UN dari pada ‘ilmu’ siswa banyak tapi tidak lulus UN.

Ada yang mengatakan bahwa kecurangan dalam UN dipicu oleh dua faktor, yaitu budaya meluluskan, dan tekanan politik (Kompas). Faktor in ‘berlawanan’ dengan tugas guru, memang tugas guru itu mengajar dan membelajarkan siswa supaya siswanya lulus. Kalau guru itu tidak punya ‘budaya meluluskan’ siswa, bisa dipastikan guru itu kehilangan semangat dalam proses pembelajaran.

UN juga melahirkan anak yang minim kreativitas karena potensi yang dimilikinya telah habis terkuras oleh pendalaman materi UN yang berlebihan dan demi gengsi suatu sekolah. Tanpa disadari, guru-guru telah berubah menjadi pendoktrin materi dan bukan pendidik.

Selain itu, UN membuat motivasi belajar siswa ‘meningkat tajam’. Semangat belajar siswa berubah, berubah menjadi ‘pemburu’ nilai tinggi dan semangat guru mengajar juga berubah, berubah menjadi ‘tukang sulap’ yang ingin menyulap siswa menjadi pintar sesaat hanya untuk UN. Semangat kepala sekolah juga berubah, ingin mendapatkan prestise dari masyarakat tentang keberhasilannya dalam meluluskan siswa 100%.

Jadi, UN tambah menggelikan karena pemerintah ‘hanya’ minta anak ‘yang tidak berdosa’ diminta jujur. Tapi apakah kita jujur (1) merangkingkan hasil UN dengan kualitas sekolah/madrasah yang berbeda-beda? (2) menguji siswa dengan sarana prasarana yang berbeda beda; (3) menguji siswa dengan kualitas guru yang berbeda beda; (4) menguji sekolah/madrasah dengan akses informasi yang berbeda beda; (5) membandingkan sekolah ‘kaya’ dengan sekolah/madrasah ‘hanya’ dengan modal semangat; (7) ‘menghukum’ orang yang tidak bersalah. UN bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah satuan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran: kepala sekolah, guru, pengawas dan seterusnya. Kalau ‘orang orang’ ini yang menyelenggarakan proses pendidikan yang ‘mungkin’ belum bekerja dengan baik, kenapa anak yang dihukum?

Mungkin para pejabat kita ‘cenderung’ berpikir birokratif: “Pokoknya UN tetap dilaksanakan”, “Kita kan menjalankan UU”. Kita mengharapkan, pejabat penyelenggara UN adalah orang terdepan dalam menegakkan keadilan bukan orang yang menegakkan aturan!.

*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian dan Dosen STAI Muara Bulian

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun