Di era digital seperti saat ini, komunikasi melalui media sosial dan aplikasi seperti WhatsApp, Line, atau Telegram telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Salah satu kebiasaan yang muncul dalam komunikasi digital adalah fenomena typo (kesalahan pengetikan) dan penyingkatan kata seperti “gmn” (bagaimana), “udh” (sudah), atau “ntar” (sebentar). Kebiasaan ini muncul karena keinginan untuk menulis secara cepat, praktis, dan juga efisien, terutama saat menggunakan ponsel. Meskipun terlihat sepele, fenomena ini ternyata membawa dampak yang signifikan terhadap kebiasaan menulis yang benar, terutama dalam konteks akademik ataupun formal.
Kesalahan pengetikan (typo) seringkali dianggap wajar dalam percakapan sehari-hari di media sosial. Namun, kebiasaan ini dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menulis dengan kaidah bahasa yang benar. Banyak pelajar dan mahasiswa yang secara tidak sadar membawa gaya penulisan ini ke dalam tugas akademik, esai, atau bahkan dalam dokumen resmi. Penyingkatan kata yang terlalu bebas juga dapat merusak struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta dapat menurunkan kualitas komunikasi tertulis.
Menurut Prof. Dr. Mahsun, M.S., pakar linguistik dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kebiasaan menyingkat kata dan kesalahan penulisan (typo) yang terus-menerus dilakukan dapat membentuk pola pikir berbahasa yang tidak sesuai dengan kaidah. Ia menyatakan bahwa “penggunaan bahasa yang tidak sesuai kaidah, jika tidak dikontrol, akan membentuk kebiasaan berbahasa yang salah dan berdampak pada kemampuan menulis yang menurun, terutama di lingkungan akademik.”
Hal serupa juga disampaikan oleh, Dr. Atmazaki, dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Padang, menekankan pentingnya literasi bahasa yang baik di tengah maraknya gaya komunikasi digital. Ia menyatakan bahwa “perlu ada pembiasaan menulis yang baik dan benar dalam lingkungan pendidikan agar tidak terbawa gaya bahasa digital yang serba instan.”
Dalam konteks akademik, ketelitian dan kejelasan dalam penulisan sangat penting. Typo dan singkatan yang tidak sesuai kaidah dapat menyebabkan kesalahpahaman atau penilaian negatif terhadap karya tulis. Misalnya, menulis “tdk ada pmbhsn lnjt ttg topik tsb” dalam laporan ilmiah tentu tidak dapat diterima, karena tidak mencerminkan sikap ilmiah dan profesionalisme.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya kesadaran berbahasa yang kontekstual. Bahasa yang digunakan dalam chatting bersifat informal, namun ketika berpindah ke situasi akademik atau formal, diperlukan penyesuaian gaya bahasa yang lebih tepat. Maka, kemampuan untuk membedakan konteks dan menyesuaikan bentuk bahasa menjadi kunci dalam menjaga kualitas komunikasi.
Sebagai generasi digital, kita dituntut untuk tetap responsif terhadap perkembangan teknologi, serta tidak melupakan pentingnya menjaga sebuah kaidah dalam berbahasa, khususnya dalam ranah pendidikan dan juga profesi. Kebiasaan kecil seperti mengecek kembali tulisan dan membiasakan diri menulis lengkap dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki kualitas bahasa dalam tulisan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI