Lihat ke Halaman Asli

Zaenal Muttaqin

Pencinta kopi dan sejarah

Sinar Kosmik, Badai Surya, dan Iklim

Diperbarui: 5 Desember 2021   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semesta terbentuk milyaran tahun silam. Kita dapat mengetahui sejarah semesta dengan melihat jejak-jejaknya di bumi. Bahkan, apa yang terjadi milyaran tahun silam masih terasa oleh kita hingga hari ini.

Sinar kosmik (cosmic rays) adalah pancaran energi proton dan nukleus bermuatan tinggi yang berasal dari ledakan supernova, dan menjelajah angkasa raya dalam kecepatan cahaya. Muatan energi sinar kosmik bisa mencapai 3-10 GV (gigavolt) dan tidak henti-henti menyirami atmosfer bumi, membawa informasi sejarah semesta raya. Hanya dengan perlindungan jubah badai surya (solar wind), hanya sebagian kecil radiasi sinar kosmik menyentuh bumi.

Matahari bergerak mengelilingi pusat galaksi Bimasakti dalam kecepatan 217 km/detik, dalam trayektori naik turun di sepanjang piringan galaksi; adapun Bimasakti bergerak dengan kecepatan 580 km/detik entah ke arah mana. Bumi dan seluruh planet di tata surya, bergerak helikal mengelilingi matahari dalam tautan gravitasi. Safari ini kadang membawa bumi melintasi angkasa dengan densitas hamburan sinar kosmik yang tinggi, kadang hanya menembus hamburan sinar kosmik yang densitasnya rendah.

Tidak ada satu partikel pun di alam semesta yang diam. Langit yang kita pandang setiap malam pada dasarnya tidak pernah sama, karena bumi telah berpindah ribuan kilometer dari titik sebelumnya. Dan tawaf benda-benda di semesta raya ini berdampak langsung pada iklim di bumi, baik langsung maupun tidak langsung.

Siklus 11 tahunan matahari besar pengaruhnya bagi iklim di bumi, bukan hanya terkait El Nino dan La Nina bahkan, secara mikro, pada ionisasi di atmosfer dan pertumbuhan awan. Siklus ini terkait pergeseran solar magnetic, di mana kutub magnetik utara dan selatan dari matahari bertukar posisi dalam rentang 11 tahun (22 tahun siklus penuh), ditandai dengan jumlah sunspot dan level radiasi matahari.

Saat matahari sedang aktif, letupan corona hampir terjadi setiap hari dan mengakibatkan hembusan badai surya. Sebaliknya, jika matahari sedang terkantuk-kantuk, badai surya mereda. Dari sisi pengamatan di bumi, kejadian ini bisa ditandai dengan jumlah sunspot (bintik hitam ) pada matahari, yang sebetulnya adalah corona-hole sebagai akibat dari letupan yang terjadi.

Letupan corona ini menimbulkan badai surya, yang memiliki dampak beragam terhadap bumi. Sebagaimana disinggung sebelumnya, salah satu dari peran badai surya ini adalah melindungi bumi dari radiasi sinar kosmik melalui spera plasma magnetik. 

Inilah yang dikenal sebagai mekanisme "Forbush Decrease"(FD). Meski energi yang disemburkan matahari hanya beberapa ratus MV (megavolt), tapi cukup untuk menghalau sebagian besar semburan sinar kosmik. Namun, manakala matahari sedang tertidur maka badai surya mereda sehingga semakin banyak sinar kosmik mencapai permukaan bumi.

Ketika partikel sinar kosmik memasuki atmosfer dan mulai berbenturan dengan molekul-molekul di stratosphere pada ketinggian di atas 30 km, mengakibatkan rantai reaksi atomik dan menghasilkan pion hingga muon. 

Konon, setiap satu centimeter persegi permukaan bumi mendapat satu curahan muon setiap menit. Muatan arus negatif muon mengakibatkan ionisasi ketika jatuh melewati troposfer.

Dari eksperimen yang dilakukan Svensmark [2007] dan Kirkby [2013], diketahui bahwa ionisasi ini membantu menghasilkan partikel aerosol dalam ukuran kecil (∼ 1–2 nm), hingga membentuk kondensasi awan nukleus berukuran >50 nm. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline