Lihat ke Halaman Asli

Yutta Sihing Gusti

Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Resolusi Hulu Jadi Solusi Kebijakan Cukai Rokok

Diperbarui: 3 Oktober 2025   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Perokok yang tengah menghisap tembakau berlapis papir uang (Sumber: Hasil Generated Image AI Gemini)

Tahun ini menjadi tahun yang penuh dilema bagi industri tembakau raksasa di Indonesia. PT. Gudang Garam mengalami anjlok laba sebesar 81,5% menjadi Rp980,80 miliar (2024) dari Rp5,32 triliun (2023). PT. HM Sampoerna mengalami putus rekor pertumbuhan penjualan bersih pada paruh pertama tahun 2025 sebesar Rp55,17 triliun, turun 4,57% YoY. Kinerja jeblok juga terjadi pada PT. Wismilak Inti Makmur, perusahaan hanya mampu membukukan laba Rp298,7 miliar, anjlok 39,58% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp494,7 miliar.

Tren negatif industri hasil tembakau (IHT) menjadi alarm peringatan bagi pamangku kebijakan untuk ambil kendali mengatasi permasalahan tersebut. Industri tembakau sendiri menjadi sektor penting penyokong ekonomi negara, baik dari penyerapan tenaga kerja maupun penerimaan negara lewat tarif cukai. Per tahun 2019 saja, Kementerian Perindustrian mencatatkan sebanyak 5,9 juta orang menggantungkan hidupnya dari industri tembakau. Selain itu, CHT juga menyokong 95,5% atau Rp216,9 triliun dari total penerimaan cukai tahun 2024 sebanyak Rp226,4 triliun.

Absennya kenaikan tarif cukai hasil tembakau di tahun ini sesuai PMK No. 97 Tahun 2024 belum bisa sepenuhnya menyelamatkan industri dari kanker yang sebenarnya. Sebaliknya, negara malah mencatatkan pertumbuhan pendapatan CHT pada Semester I/2025 sebanyak Rp24,2 triliun atau naik 5% dari tahun sebelumnya.

Kenaikan pendapatan ini tidak diimbangi dengan menurunnya tingkat prevalensi merokok yang menjadi indikator utama dari keberhasilan diberlakukannya tax sin tersebut. Nyatanya, tingkat prevalensi perokok di Indonesia berdasarkan proyeksi WHO mencapai 38,7% dari total penduduk di tahun 2025. Sementara per tahun 2023 saja, BPS mencatatkan prevalensi perokok sebanyak 28,62%.

Di satu sisi, industri hasil tembakau nasional sedang terengah menghadapi kinerja negatif dalam satu tahun terakhir. Penurunan produksi pada rokok Golongan I terjadi sebesar 10% yang berdampak pada berhentinya pembelian tembakau langsung dari petani oleh perusahaan-perusahaan besar rokok.

Dalam dinamika ini, Kementerian Keuangan selaku pemangku otonomi fiskal dituntut untuk berada dalam dualitas diberlakukannya kebijakan cukai, antara mengurangi dampak eksternalitas negatif atau menyelamatkan industri yang hidup dari nafas tembakau tersebut. Namun, apakah pemberlakuan tarif cukai yang terus meningkat dapat menyelamatkan keduanya?

Diagnosis permasalahan utama dalam dinamika ini tidak hanya dapat diselesaikan dengan cara pragmatis melalui kenaikan tarif cukai. Di satu sisi, tarif cukai yang semakin meningkat malah menciptakan ruang permasalahan baru berupa menjamurnya pasar kelas bawah dan modus penggelapan pajak (tax evasion) atas barang kena cukai.

Berdasarkan skema evaluatif, kebijakan tarif CHT sendiri memiliki celah karena memfasilitasi fleksibilitas perokok untuk memenuhi kebutuhannya lewat penawaran dari golongan rokok yang lebih rendah. Persentase disparitas HJE antar golongan SKM dan SPM saja bisa sekitar 60%-an, membuat perokok sering terjebak dalam aktivitas downtrading. Kesenjangan harga yang besar tersebut membuat pilihan perokok untuk turun kelas menjadi sangat rasional.  

Bilamana disparitas harga 60% saja sudah membuat perokok migrasi ke rokok kelas bawah, bagaimana bila kesenjangan harga bisa lebih dari 100%. Inilah yang ditawarkan oleh kanker yang sebenarnya mengerogoti industri tembakau itu sendiri, yaitu menjamurnya pasar rokok ilegal. Maraknya rokok ilegal adalah akumulasi dari inefektifitas kebijakan cukai, lemahnya fungsi pengawasan, serta longgarnya regulasi hulu produksi. Kenaikan tarif cukai yang signifikan dalam satu dekade terakhir telah menemui titik jenuh yang hanya berdampak pada menurunnya produksi rokok legal dan naiknya penerimaan CHT.

Merujuk pada riset Universitas Gadjah Mada per tahun 2022, persentase rokok ilegal di Indonesia sekitar 5,5% dan naik setelahnya di tahun 2023 menjadi 6,9%. Potensi kerugian negara pun ditaksir mencapai Rp97,81 triliun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline