Lihat ke Halaman Asli

Kalah itu biasa saja

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membaca catatan ilham akbar mustafa tentang kekalahan  ( http://www.facebook.com/notes/ilham-akbar-mustafa/balada-orang-orang-kalah/10151932339593152 ), saya awalnya berpikir sebuah tindakan yg tergesa-gesa untuk membuat sebuah memoar ala indra jaya piliang yang notabene panutanya. Tapi, saya teringat ucapan hannah arendt bahwa “derita menjadi tertanggungkan apabila telah menjadi cerita”.

Tak ada kekalahan terbesar dalam peradaban manusia selain dikarenakan politik. Boleh menyebut selainnya adalah paling kekalahan-kekalahan eksistensial yang pribadi. Tapi, kekalahan dalam politik adalah kekalahan paling maskulin yang pernah tercipta.

Yang telah pernah kalah tapi kelak menjadikan balada sisiphus sebagai patron kekalahan adalah sesuatu yang haram. Sebab, kita bukanlah sisipihus dalam metafor albert camus tentang manusia setengah dewa yang dihukum dengan mendorong batu kepuncak gunung tanpa henti dan terus menerus karena membangkang serta melawan zeus. karena kemenangan laiknya pesta, pun akan berakhir jua.

Tak ada yang lebih akrab dari tokugawa ieyasu dalam hal kekalahan. Sejak lahir telah kalah bahkan menjadi sandera yang digilir antara klan imagawa dan klan oda. Ieyasu kecil tumbuh besar dari memupuk amarah menjadi belati kuasa. Kelak belati ini menjelma menjadi tonggak hampir 250 tahun mengangkangi jepang. Seperti pendahulunya, ieyasu melihat pembangunan kembali dalam merebut kemenangan banyak belajar pada minamoto no yoritomo yang menghancurkan klan taira setelah mempersiapkanya selama bertahun-tahun.

Banyak cara pada orang-orang kalah untuk melanjutkan hidup. Bisa seperti kaum hippies yang mengasingkan diri lalu ekstase dengan alam dan dirinya sendiri dengan mariyuana setelah kalah melawan modernisme. Bisa juga  ala milisi revolusi kemerdekaan serangan umum 1 maret dengan bergerilya tapi sebelumnya melakukan “bumi hangus” kotanya sendiri atau belajar pada “klandestin kota” ala marxis soviet  sebelum revolusi bolsyhevik.

Akhirnya, bukankah tentang kekalahan adalah soal harga diri? Begitu pula sebaliknya,kemenangan. Ada kemenangan dengan kepala tertunduk (karena dengan cara picik dan munafik) dan ada kekalahan dengan kepala tegak (karena telah menahan diri untuk tidak berbuat serupa dan legowo). Kalaupun ada amarah yang tersisa  hendak dibalaskan dari perhelatan ini mari kita selesaikan dengan omerta ala mafioso sisilia,”sajikan hidanganya saat telah menjadi dingin”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline