Lihat ke Halaman Asli

Didik Prasetyo

Live - Love - Life

Sunar Yang Tak Lagi Bersinar

Diperbarui: 22 September 2025   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunar Yang Tak Lagi Bersinar | doc pribadi

Di antara tumpukan koran yang makin sepi pembaca, ada seorang lelaki paruh baya yang tetap setia menghadirkan berita---dan harapannya sendiri.

Pagi di Tenggara selalu sibuk, tapi tidak semua hiruk-pikuk jalan itu sama.
Di sudut perempatan dekat lampu merah yang sering mati, berdiri Sunar, Penjual Koran yang kini tak lagi bersinar. Tumpukan koran menumpuk di atas etalasenya, tertata rapi namun berdebu. Bau kertas basah dan tinta segar bercampur aroma asap kendaraan. Motor, mobil, dan pedagang pagi berseliweran, namun sebagian besar tidak peduli pada lelaki setengah senja itu.

Sunar---rambutnya mulai memutih tipis, wajahnya berkerut seperti lipatan berita lama---memilih dan memilah koran dagangannya perlahan. Setiap pagi ia menyapa pelanggan yang datang, walau jumlahnya semakin sedikit. Sesekali berlari mendekati sopir angkot yang masih setia berlangganan koran demi membunuh Sang Waktu selagi ngetem.
"Ambil koran terbaru, Nak?" tanyanya dengan suara serak tapi hangat, ketika seseorang mendekati dagangannya. Tangannya cekatan membolak-balik tumpukan kertas, mencari berita paling menarik agar pembeli tetap mampir.

Tak banyak orang tahu, di balik senyumnya yang teduh, Sunar menyimpan harapan besar untuk masa depan anak-anaknya. Ia ingin mereka meraih pendidikan lebih tinggi, memiliki pekerjaan yang layak, dan hidup bahagia. Setiap lembar koran yang terjual baginya adalah investasi kecil untuk masa depan mereka.

Siapa sangka, di balik rutinitasnya itu, Sunar harus bangun sebelum fajar. Malamnya ia duduk di kursi kayu di teras rumah, merapikan koran, menghitung lembaran uang receh yang hanya cukup untuk makan sehari. Anak sulungnya baru saja lulus dan merantau, sementara anak kedua dan ketiga terlalu sibuk dengan gadget mereka sendiri, seolah tak peduli dengan keberadaan Sunar yang kian redup.

Sebagai penjual koran di era digital saat ini, Sunar tetap tak gentar menghadapi transformasi dunia digital. Sambil menunggu pelanggannya yang kian menyusut, ia berbagi cerita---tentang suka duka, tentang harapan dan kekecewaan, tentang arti kesetiaan pada profesi yang semakin terpinggirkan. Sesekali ia terharu sekaligus bersyukur, karena usahanya selama ini tidak sia-sia. Mungkin, di tengah gempuran teknologi, masih ada ruang bagi mereka yang setia pada nilai-nilai tradisional.

Hari-hari Sunar kini dipenuhi ritme yang hampir sama: buka lapak korannya, melayani pelanggan setia, menata koran, lalu pulang sebelum matahari terlalu tinggi. Tapi terkadang, ada momen kecil yang membuatnya tersenyum---seorang bocah SD membeli koran pertamanya, atau seorang penumpang angkot menyapa dengan hormat. Hal-hal kecil itu bagai cahaya di lorong kehidupan yang mulai gelap.

Orang-orang sibuk menatap layar ponsel, membaca berita digital dalam hitungan detik, sambil mengeluhkan carut-marutnya ragam berita di negeri ini. Ironisnya, mereka jarang menoleh pada Sunar, yang sudah puluhan tahun menyebarkan informasi tanpa notifikasi atau like. Lampu lalu lintas yang sering mati pun lebih diperhatikan orang daripada keberadaan Sunar, yang walau tak lagi bersinar, tetap hadir meski nyaris tak terlihat.

Kadang aku membayangkan, tiap lembar koran adalah doa yang dibisikkan Sunar: agar dunia tetap punya berita, agar harapan tetap hidup, walau pembaca menurun drastis. Di antara bising pasar dan motor yang melintas, ada suara kertas yang berserak, lembut tapi tegas, menandai keberadaan kehidupan yang tak ingin hilang.

Sunar bukan sekadar pedagang. Ia adalah simbol ketekunan, kesetiaan, dan kepercayaan bahwa hidup masih punya ruang bagi mereka yang tak terlihat. Bahkan ketika dunia serba digital dan cepat, Sunar tetap membuka lapaknya, menghadirkan cerita, menghadirkan hidup. Kadang ia duduk sejenak, menatap koran yang tersisa, dan tersenyum lirih---karena setiap pagi, masih ada orang yang berhenti, menoleh, dan membeli. Itu sudah cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline