Melihat seorang ibu memanen padi dengan sabar, ingatan saya seketika melayang pada sosok ibu saya sendiri yang juga seorang petani desa. Sebagai anak petani, saya tahu betul bagaimana bahagianya saat musim panen tiba - ada rasa lega dan syukur ketika jerih payah berbulan-bulan akhirnya berbuah hasil.
Namun, kebahagiaan itu sering kali tak bertahan lama. Harga gabah yang jatuh di luar dugaan kerap meruntuhkan semangat, seolah permainan harga telah menjadi "ritual" tak terhindarkan di setiap musim panen.
Kini, ibu saya sudah tidak saya izinkan lagi untuk bekerja terlalu berat. Usianya memang tak muda, meski nalurinya sebagai petani tak pernah padam. Selalu ada saja aktivitas yang dilakukannya di sawah atau di halaman rumah, seakan tubuhnya sudah menyatu dengan tanah dan padi.Â
Apa yang saya lihat pada ibu saya sebenarnya adalah potret banyak perempuan desa lain: mereka tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan pertanian, bahkan ketika usia dan zaman terus berubah.
Di tengah riuh mesin pemotong padi yang kian mendominasi hamparan sawah Nusantara, masih ada sudut-sudut desa yang setia menjaga kearifan lama dalam mengelola hasil bumi. Pemandangan ini bukan sekadar soal menanam dan menuai, melainkan juga tentang ruang hidup perempuan desa - mereka yang diam-diam menjadi penopang utama tradisi agraris kita.
Catatan penting: tulisan ini sama sekali tidak menafikan peran petani laki-laki. Di banyak desa, laki-laki dan perempuan saling bahu membahu menjaga sawah, mulai dari membajak, menanam, hingga panen.Â
Namun, pengalaman pribadi saya menyaksikan seorang ibu memanen padi seorang diri di sawah tiba-tiba membawa ingatan pada sosok ibu kandung saya.Â
Dari situlah refleksi ini mengalir- sebuah potret kecil tentang ketekunan, kesabaran, dan daya tahan perempuan desa dalam menjaga tradisi panen padi.
Perempuan sebagai Penjaga Tradisi
Sejak fajar, perempuan desa sudah menyingsingkan lengan baju, mengikat kain di pinggang, dan menyiapkan diri untuk masuk ke petak sawah. Bagi mereka, panen bukan hanya rutinitas ekonomi, melainkan juga arena sosial, budaya, sekaligus spiritual.