Lihat ke Halaman Asli

Wedy Prahoro

Akademisi

Sungkem: Pelukan Jiwa yang Tak Lekang oleh Zaman

Diperbarui: 15 Juni 2025   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari https://www.liputan6.com/

Di tengah hiruk pikuk modernitas, di mana gawai menggantikan sapaan dan notifikasi meredam interaksi, kita sering bertanya, "Masihkah ada ruang untuk tradisi?" Pertanyaan ini menggantung di udara, terutama saat menyaksikan pelan-pelan terkikisnya adab dan tata krama dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Jawa, yang kaya akan nilai-nilai luhur dan filosofi hidup, tak luput dari tantangan ini. Salah satu permata tak ternilai yang kini terancam redup adalah sungkem.

Bagi sebagian generasi muda, sungkem mungkin hanya sekadar ritual kuno yang memakan waktu, sebuah pose kaku yang harus dilakoni di acara pernikahan atau Lebaran. Mereka mungkin tak memahami, di balik gerakan merendahkan diri itu, tersembunyi samudera makna, jembatan emosi, dan warisan kebijaksanaan yang tak terhingga. Sungkem bukanlah sekadar membungkuk atau mencium tangan, ia adalah pelukan jiwa, sebuah dialog tanpa kata yang memancarkan rasa hormat, bakti, dan permohonan maaf yang tulus. Jika kita membiarkannya luntur, kita tidak hanya kehilangan sebuah tradisi, tetapi juga kehilangan bagian penting dari identitas, akar, dan hati nurani kita sebagai bangsa. Mari kita telusuri lebih dalam, mengapa sungkem jauh lebih dari sekadar adat, melainkan sebuah jembatan menuju kemanusiaan yang lebih utuh. Apakah Anda siap menyelami kedalaman ini dan menemukan kembali makna yang hilang?

Ketika Air Mata Bicara: Kedalaman Psikologis di Balik Sungkem

Saksikanlah sejenak momen itu: seorang anak bersimpuh, bahunya bergetar, dan air mata mengalir deras membasahi pipi. Di hadapannya, orang tua terdiam, mungkin juga dengan mata berkaca-kaca. Adegan ini sering kita lihat dalam sungkem pernikahan atau Hari Raya Idul Fitri. Mengapa begitu banyak emosi, begitu banyak air mata, di balik sebuah gestur yang tampak sederhana? Ini bukan sekadar tangisan haru biasa; ini adalah eksplosi psikologis dari akumulasi perasaan yang kompleks dan mendalam.

Dari kacamata psikologi humanistik, khususnya teori katarsis yang dipopulerkan oleh psikoanalis seperti Sigmund Freud dan kemudian dikembangkan dalam berbagai konteks, sungkem berfungsi sebagai katup pelepas emosi. Freud berpendapat bahwa emosi yang terpendam dapat menyebabkan tekanan psikologis. Sungkem menyediakan wadah aman untuk melepaskan beban tersebut. Ketika seseorang bersimpuh dan mengakui kesalahannya, bahkan yang tak terucapkan, ia sedang melepaskan rasa bersalah dan penyesalan yang mungkin telah menumpuk. Peneliti komunikasi non-verbal, seperti Paul Ekman, menunjukkan bahwa air mata seringkali merupakan respons terhadap emosi intens, baik positif maupun negatif. Dalam sungkem, air mata adalah bukti fisik dari proses pembersihan emosi, yang membuat jiwa terasa lebih ringan dan damai.

Namun, air mata sungkem bukan hanya tentang penyesalan. Ia juga merupakan ekspresi syukur dan haru yang meluap. Psikolog positif, seperti Martin Seligman, menekankan pentingnya gratitude (rasa syukur) untuk kesejahteraan mental. Momen sungkem adalah saat kita menyadari betapa besar jasa orang tua, betapa tak ternilai pengorbanan mereka, dan betapa tak terbatas kasih sayang yang telah mereka curahkan. Setiap sentuhan, setiap usapan, menjadi jembatan memori yang membawa kembali kilasan pengorbanan tak terhingga: malam-malam tanpa tidur, tetesan keringat, senyum di balik kesulitan. Kesadaran akan semua ini memicu gelombang emosi yang meluap, menciptakan sensasi "hati penuh" yang hanya bisa diungkapkan melalui air mata kebahagiaan dan kebanggaan.

Dalam konteks pernikahan, air mata bisa bercampur dengan kecemasan transisi dan harapan masa depan. Menurut teori perkembangan psikososial Erik Erikson, setiap tahapan kehidupan memiliki krisis atau tugas perkembangan. Pernikahan adalah transisi besar dari tahap kemandirian anak menuju pembentukan identitas keluarga baru. Ada kecemasan akan kemampuan diri mengarungi bahtera rumah tangga, namun diiringi harapan besar akan doa restu orang tua. Air mata dalam momen ini mencerminkan ambivalensi emosional ini, perpisahan dari zona nyaman masa lalu dan loncatan ke masa depan yang belum terjamah, semuanya diselimuti restu ilahi. Ikatan batin yang begitu kuat antara anak dan orang tua, yang sering disebut sebagai "attachment" dalam psikologi perkembangan, menemukan puncaknya dalam sungkem, di mana air mata menjadi tanda intensitas ikatan tersebut yang terkadang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah bahasa universal dari kasih sayang tanpa syarat.

Refleksi Falsafah Jawa: Andhap Asor, Bakti, dan Harmoni Semesta

Sungkem adalah inti sari dari falsafah hidup Jawa yang mendalam, bukan sekadar gestur fisik, melainkan perwujudan nyata dari nilai-nilai luhur yang telah diwariskan lintas generasi. Ia adalah cerminan dari kebijaksanaan para leluhur yang membentuk karakter dan adab masyarakat Jawa.

Salah satu pilar utama yang terukir dalam sungkem adalah andhap asor, yaitu kerendahan hati dan tidak sombong. Dalam ajaran Jawa, seperti yang tercermin dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV, kerendahan hati adalah kunci menuju kemuliaan sejati. Pupuh Gambuh misalnya, seringkali menekankan pentingnya ngelmu laku (ilmu perilaku) yang mengedepankan andhap asor dalam setiap interaksi. Posisi bersimpuh, menundukkan kepala, dan mencium tangan atau lutut adalah simbol penyerahan diri yang total, sebuah pengakuan bahwa ada otoritas, pengalaman, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi pada orang tua dan sesepuh. Ini adalah cara untuk mengingatkan diri bahwa kita hanyalah bagian kecil dari rantai kehidupan yang lebih besar, dan bahwa kita selalu memiliki sesuatu untuk dipelajari dari para pendahulu.

Lebih dari itu, sungkem adalah ekspresi ngabekti (berbakti) dan ngajeni (menghormati). Nilai bakti ini tidak hanya berarti mematuhi, tetapi juga melayani dengan tulus, menghargai nasihat, dan menjaga nama baik keluarga. Dalam adat Jawa, konsep sanak-sedulur (persaudaraan dan kekeluargaan) sangat kuat, dan bakti kepada orang tua adalah fondasi dari tatanan sosial yang harmonis. "Mikul duwur mendem jero" (menjunjung tinggi kebaikan dan menutupi kekurangan) adalah salah satu perwujudan konkret dari bakti ini. Melalui sungkem, kita mengakui dan menjunjung tinggi peran orang tua sebagai sumber kehidupan, pembimbing, dan pemberi restu. Ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan kosmik (hamemayu hayuning bawana) dalam pandangan Jawa, di mana harmoni antara manusia, alam, dan leluhur adalah kunci kebahagiaan.

Dalam konteks pernikahan adat Jawa, sungkem menjadi ritual melepaskan dan menerima yang sarat makna. Bagi orang tua mempelai, ini adalah momen melepaskan sang anak untuk membangun keluarga sendiri, sambil memberikan restu penuh agar rumah tangga yang baru diberkahi. Ada peribahasa Jawa, "Witing tresna jalaran saka kulina" (cinta itu tumbuh karena terbiasa), namun dalam sungkem pernikahan, ia adalah puncak dari cinta yang telah terjalin lama dan kini melepaskan. Bagi mempelai, ini adalah penerimaan tanggung jawab baru, diiringi janji untuk tetap berbakti dan tidak melupakan akar mereka. Prosesi ini menegaskan ikatan kekeluargaan yang tak terputus meskipun status dan peran telah berubah. Air mata yang tumpah adalah wujud kebanggaan orang tua melihat anaknya mandiri, sekaligus kerinduan akan masa kecil yang telah berlalu, mengalirkan rahmat dan berkah dari generasi tua ke generasi muda.

Merajut Hati di Hari Raya: Sungkem dalam Bingkai Cahaya Ilahi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline