Dari Heroisme 1945 ke Urgensi Kementerian Logistik
Setiap 27 September, bangsa ini memperingati Hari Bhakti Pos dan Telekomunikasi. Peringatan ini berakar dari peristiwa 1945, ketika para pegawai pos dan telekomunikasi bersama rakyat merebut kembali kantor-kantor pos dari tangan penjajah, hanya beberapa pekan setelah proklamasi. Mereka sadar, kedaulatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh medan tempur bersenjata, melainkan juga pada jaringan komunikasi dan distribusi yang menopang kehidupan masyarakat.
Semangat heroik itu tetap relevan hingga kini. Jika dahulu perjuangan diarahkan untuk merebut kedaulatan fisik atas jaringan pos dan telekomunikasi, kini tantangannya adalah kedaulatan ekonomi di tengah arus globalisasi, digitalisasi, dan persaingan lintas negara. Pos dan logistik bukan lagi sekadar urusan teknis, melainkan persoalan strategis yang menentukan daya saing dan ketahanan nasional.
Logistik: Fondasi Ekonomi Modern
Indonesia menghadapi kenyataan mahalnya biaya logistik. Menurut Bank Dunia (2023), biaya logistik nasional masih mencapai 23--24 persen dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara maju yang hanya 8--10 persen. Kondisi ini menggerus daya saing produk nasional: kalah bukan karena kualitas produksi, melainkan karena ongkos distribusi yang mahal.
Sementara itu, ekonomi digital berkembang pesat. Laporan Google-Temasek-Bain (2023) memperkirakan transaksi e-commerce Indonesia menembus 160 miliar dolar AS pada 2030. Artinya, jutaan paket bergerak setiap hari melintasi kota, pulau, hingga negara. Tanpa sistem logistik yang efisien, peluang besar itu bisa berubah menjadi sumber ketimpangan dan hambatan baru.
Negara-negara lain sudah berbenah. Jepang melalui Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism (MLIT) menyiapkan kebijakan logistik nasional yang terintegrasi. Arab Saudi bahkan menjadikan logistik sebagai pilar Vision 2030 melalui pembentukan Ministry of Transport and Logistic Services. Indonesia, dengan letak geografis strategis di jalur perdagangan dunia, tidak boleh tertinggal.
Mengapa Perlu Kementerian Pos dan Logistik?
Saat ini, urusan pos dan logistik tersebar di berbagai kementerian: Komunikasi dan Informatika, Perhubungan, Perdagangan, hingga BUMN. Fragmentasi ini menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih, inefisiensi, serta lemahnya fokus strategis. Padahal, sektor ini tidak hanya soal transportasi barang, tetapi mencakup lima dimensi fundamental pembangunan:
- Kedaulatan ekonomi -- menjamin ketahanan rantai pasok pangan, energi, dan obat-obatan.
- Daya saing global -- menurunkan biaya logistik agar produk Indonesia mampu bersaing di pasar dunia.
- Keamanan nasional -- memastikan logistik menjadi bagian integral strategi pertahanan negara.
- Transformasi digital -- mengintegrasikan teknologi, dari kecerdasan buatan hingga blockchain, untuk memperkuat e-commerce dan industri 4.0.
- Pemerataan pembangunan -- menjamin layanan pos dan logistik terjangkau hingga pelosok Nusantara, agar daerah terpencil tidak tertinggal dalam arus pembangunan nasional.
Tanpa otoritas tunggal yang mengorkestrasi kelima dimensi ini, Indonesia akan terus menghadapi hambatan struktural. Karena itu, pembentukan Kementerian Pos dan Logistik menjadi kebutuhan mendesak.
Dari Seremoni ke Kebijakan