Lihat ke Halaman Asli

Wafa Rizqi

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Konseling Online : Solusi Masa kini Atau Tantangan Masa Depan?

Diperbarui: 6 Juli 2025   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Ilustrasi  konseling Online (sumber:https://ekonselingpoldasulsel.id/)

Tulisan ini merupakan tanggapan kritis terhadap artikel Konseling Online: Sebuah Pendekatan Teknologi Dalam Pelayanan Konseling karya Zadrian Ardi dkk., yang membahas tentang potensi dan perkembangan layanan konseling berbasis teknologi.

Pendahuluan 

Belakangan ini, konseling online jadi topik hangat yang sering dibicarakan. Banyak orang menganggapnya sebagai terobosan layanan psikologis yang bisa diakses dari mana saja lewat email, chat, atau video call. Dalam artikelnya, Zadrian Ardi dkk. menaruh harapan besar pada model ini. Mereka melihat konseling online sebagai alternatif modern yang mampu menembus batas jarak, mengatasi hambatan mobilitas, dan memudahkan klien yang selama ini kesulitan datang ke layanan tatap muka.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah membuka peluang besar dalam memperluas layanan psikologis. Bagi orang yang tinggal di daerah terpencil, penyandang disabilitas, atau mereka yang sibuk bekerja, konseling online menawarkan kemudahan yang sebelumnya nyaris mustahil. Bahkan di masa pandemi, layanan daring menjadi penyelamat bagi banyak orang yang butuh dukungan mental namun terhalang pembatasan sosial.

Namun, di balik artikel yang di tulis oleh Zadriani dkk, sejumlah pertanyaan penting yang tidak boleh kita abaikan. Apakah konseling online benar-benar bisa menggantikan keintiman pertemuan langsung? Apakah teknologi cukup untuk menjawab seluruh tantangan emosional klien, atau justru menghadirkan masalah baru seperti risiko kebocoran data, kesalahpahaman komunikasi, dan rasa keterasingan yang lebih dalam?

Isi Pembahasan 

Salah satu hal yang patut kita pertanyakan dari artikel Zadrian Ardi dkk. adalah klaim mereka soal efektivitas konseling online yang disebut telah "membantu banyak klien" menghadapi masalah seperti kecemasan, depresi, atau konflik kerja. Sekilas terdengar meyakinkan---siapa yang tidak ingin solusi praktis dan mudah diakses untuk masalah psikologis? Namun benarkah layanan daring ini benar-benar bisa diandalkan untuk semua orang? Bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut ternyata masih terbatas, apalagi untuk kondisi yang lebih kompleks. Memang, beberapa studi menunjukkan konseling online bisa cukup efektif untuk masalah ringan hingga sedang. Tapi bagaimana dengan gangguan yang lebih berat seperti borderline personality disorder atau pikiran bunuh diri? Kasus-kasus ini sering kali membutuhkan pengawasan ketat, respons cepat, dan kehadiran langsung yang tak bisa sepenuhnya digantikan oleh layar. Hal-hal semacam ini layak kita pikirkan sebelum terlalu percaya pada janji praktis layanan daring.Selain itu, komunikasi lewat teks atau video call memiliki keterbatasan serius. Bahasa tubuh, nada suara, atau keheningan yang bermakna unsur-unsur penting untuk membaca kondisi emosional klien secara utuh---sering kali hilang atau sulit ditangkap lewat layar.

Di sisi lain, aspek etika dan keamanan data juga menjadi masalah yang lebih serius daripada sekadar persoalan sandi atau kata kunci. Penulis artikel memang menyinggung soal kerahasiaan data, tetapi pembahasannya terkesan hanya "sekilas lalu" tanpa mengupas kerumitan sebenarnya. Misalnya, ada data lama yang menunjukkan hanya 27% layanan konseling online menggunakan software terenkripsi. Ini menunjukkan risiko kebocoran data pribadi sangat nyata, yang bisa menimbulkan stigma, pelanggaran privasi, bahkan pemerasan jika rahasia klien jatuh ke tangan yang salah. Selain itu, layanan lintas negara menimbulkan persoalan hukum yang tidak sederhana: negara mana yang aturannya berlaku, dan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran etik? Tantangan-tantangan semacam ini menuntut pembaruan aturan dan kode etik yang lebih jelas dan relevan dengan perkembangan zaman. Sayangnya, artikel Zadrian Ardi dkk. belum mengarahkan diskusi secara mendalam ke persoalan ini.

Terakhir, ada risiko hilangnya kualitas relasi yang hangat dan empatik dalam konseling online. Salah satu kekuatan utama konseling tatap muka adalah terciptanya hubungan yang dekat dan menenangkan. Kehadiran fisik, kontak mata, suasana ruang yang tenang, hingga cara bicara yang pelan---semua itu berkontribusi membangun rasa aman bagi klien. Dalam konseling online, unsur-unsur ini berpotensi hilang. Klien memang mungkin merasa lebih nyaman untuk curhat lewat teks karena tidak malu, tetapi juga bisa merasa lebih jauh dan asing. Bayangkan jika diskusi masalah berat tiba-tiba terganggu oleh sinyal yang putus-putus, atau jika balasan konselor terlalu singkat sehingga terkesan dingin. Hal ini tentu dapat menurunkan rasa nyaman dan kepercayaan. Apalagi dalam budaya kita yang cenderung hangat dan mengutamakan hubungan personal, kehadiran fisik bukan sekadar formalitas melainkan bagian penting dalam membangun kepercayaan yang mendalam antara konselor dan klien.

Penutup

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline