Lihat ke Halaman Asli

Vivi Nurwida

Mom of 4, mompreneur, penulis, pengemban dakwah yang semoga Allah ridai setiap langkahnya.

Kohabitasi Berujung Mutilasi, Potret Tragis Pergaulan Bebas

Diperbarui: 22 September 2025   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Canva

Kasus mutilasi yang baru-baru ini terjadi di Mojokerto--Surabaya sungguh menyayat hati sekaligus mengguncang akal sehat. Ratusan potongan tubuh seorang perempuan muda ditemukan berserakan, tersimpan di kamar kos, setelah pelaku yang tak lain pacarnya sendiri menghabisi nyawanya. Alasannya begitu sepele, yaitu kesal tidak dibukakan pintu kos dan tekanan ekonomi yang dirasakan dari pasangannya. Namun, di balik peristiwa ini, tersingkap fakta yang jauh lebih mengerikan yaitu keduanya tinggal bersama dalam satu kamar kos, tanpa ikatan pernikahan. Fenomena yang kini populer disebut kohabitasi atau kumpul kebo.

Tragedi ini tidak hanya menyingkap sisi gelap hubungan pribadi yang penuh emosi, tetapi juga memperlihatkan betapa liberalisasi pergaulan sosial telah melahirkan masalah serius. Kohabitasi, yang dianggap tren modern oleh sebagian anak muda, ternyata membuka jalan menuju konflik, kekerasan, bahkan perilaku sadis.

Kohabitasi, Tren Beracun Generasi Muda

Hari ini, tidak sulit menemukan pasangan muda yang memilih tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Alasannya beragam, ingin lebih mengenal pasangan sebelum menikah, alasan praktis efisiensi biaya hidup, hingga sekadar mengikuti tren gaya hidup. Bahkan ada psikolog yang menormalisasi praktik ini dengan memberi tips "sehat" berkoabitasi, di antaranya saling sepakat tanpa paksaan, mengatur biaya hidup bersama, serta menentukan batasan tujuan.

Seolah-olah, dengan kemasan rasional itu, kohabitasi sah-sah saja dilakukan. Padahal, praktik ini sejatinya hanyalah normalisasi perzinaan. Alih-alih membawa kebaikan, ia justru menjerumuskan manusia pada kerusakan fisik, psikis, dan moral. Fakta pun membuktikan, banyak pasangan yang hidup bersama tanpa pernikahan justru berakhir dengan kekerasan, pengkhianatan, bahkan tragedi pembunuhan. Kasus mutilasi di Surabaya hanya salah satu potret nyata dari jalan gelap yang ditempuh generasi akibat terperangkap budaya liberal.

Sekularisme: Akar Kerusakan Pergaulan

Mengapa praktik semacam kohabitasi bisa dianggap wajar, bahkan dipromosikan sebagai pilihan hidup? Jawabannya ada pada ideologi yang mendasari masyarakat kita, yakni sekuler kapitalisme. Ideologi ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga halal-haram bukan lagi standar. Yang penting menurut sekularisme adalah kebebasan individu, selama tidak mengganggu orang lain.

Di bawah logika ini, pacaran dianggap normal, tinggal bersama pacar dianggap hak pribadi, dan perzinaan bukanlah kejahatan, selama tidak ada korban fisik yang dilaporkan. Negara pun ikut-ikutan abai. Peraturan hukum hanya menjerat ketika ada unsur kekerasan atau pembunuhan, bukan sejak aktivitas maksiatnya dimulai. Dengan kata lain, negara membiarkan racun itu tumbuh subur, baru bergerak ketika sudah meledak menjadi tragedi.

Padahal, Islam menilai jauh lebih dalam. Islam melihat bahwa perbuatan haram seperti pacaran, zina, atau kohabitasi adalah jalan yang pasti menimbulkan kerusakan. Maka sejak awal, Islam melarang dan menutup pintu menuju perzinaan.

Allah Swt. berfirman:"Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline