Lihat ke Halaman Asli

Uthiya Alifia Nurul Fatichah

Mahasiswa Universitas Airlangga

KH. Abdul Kahar Muzakir: Ulama Perumus Jalan Tengah

Diperbarui: 2 Oktober 2025   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis: Uthiya Alifia Nurul Fatichah 

NIM: 421251047

Di balik riuhnya sejarah perumusan dasar negara, ada satu nama yang jarang disebut dalam buku pembelajaran, meskipun jasanya begitu besar yaitu KH. Abdul Kahar Muzakir. Ulama asal Yogyakarta ini adalah salah satu dari sembilan tokoh yang pada 22 Juni 1945 menandatangani Piagam Jakarta yang merupakan rumusan awal Pancasila. Sikapnya yang tenang, bijak, dan penuh kompromi menjadikan dirinya sebagai jembatan antara kaum nasionalis dan kelompok Islam, dua arus besar yang kala itu kerap berseberangan.

Lahir pada 16 April 1907 di Kauman, Yogyakarta, Kahar kecil tumbuh di lingkungan religius yang kental. Sejak muda, ia menimba ilmu agama di Muhammadiyah, lalu melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Pengalamannya di negeri piramida membuat cakrawalanya semakin luas. Ia bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam internasional, menyerap semangat kebangkitan umat, sekaligus memahami pentingnya modernisasi dalam dunia pendidikan. Saat kembali ke tanah air, ia membawa visi untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan moral bangsa, bukan sekadar simbol politik.

Peran Kahar Muzakir menonjol ketika Jepang membentuk BPUPKI pada 1945. Ia dipercaya menjadi salah satu anggota yang mewakili golongan Islam. Dari forum besar itu kemudian lahir Panitia Sembilan, tim kecil beranggotakan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di tengah perdebatan sengit tentang dasar negara, Kahar hadir sebagai sosok penyeimbang. Ia setuju Islam harus mendapat tempat, tetapi juga sadar bahwa Indonesia bukan hanya milik umat Islam. Karena itu, ia mendorong agar kompromi dicapai.

Rapat Panitia Sembilan kala itu digambarkan penuh ketegangan. Para tokoh berdebat keras, mempertahankan pandangan ideologis masing-masing. Namun, Kahar Muzakir dikenal tidak mudah terbawa emosi. Ia memilih berbicara dengan tenang, mengemukakan argumen rasional, dan menekankan pentingnya persatuan. Perannya sering digambarkan sebagai "penyejuk ruangan" atau seseorang yang mampu meredakan suasana panas hanya dengan kehadirannya. Dari cara ia menyampaikan gagasan, tampak jelas bahwa ia lebih mementingkan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok.

Dalam sidang Panitia Sembilan, Kahar ikut membubuhkan tanda tangan pada Piagam Jakarta, yang semula memuat sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun ketika rumusan itu menimbulkan keberatan dari wakil Indonesia Timur, Kahar bersama tokoh Islam lainnya menunjukkan kelapangan hati. Mereka rela menghapus tujuh kata tersebut demi menjaga keutuhan bangsa. Sikap legawa ini menjadi bukti bahwa bagi Kahar, kemerdekaan tidak boleh dikorbankan hanya karena ego golongan.

Seusai proklamasi, kiprah Kahar Muzakir berlanjut di dunia pendidikan. Ia menjadi rektor pertama Universitas Islam Indonesia (UII), yang awalnya bernama Sekolah Tinggi Islam. Dari kampus inilah ia menanamkan semangat Islam modern, menggabungkan tradisi pesantren dengan sistem akademik perguruan tinggi. Di bawah kepemimpinannya, UII tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga melahirkan cendekiawan Muslim yang mampu berkiprah dalam politik, ekonomi, dan pembangunan nasional. Mahasiswa yang pernah belajar langsung darinya sering mengenang Kahar sebagai rektor yang sederhana, dekat dengan mahasiswa, dan selalu menekankan integritas moral. Ia bukan tipe pemimpin yang keras, tetapi wibawanya terpancar lewat sikap konsisten dan komitmen pada ilmu.

Selain aktif di kampus, Kahar juga terlibat dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai besar yang berperan dalam dinamika politik awal Republik. Kendati demikian, ia tidak terlalu larut dalam perebutan kekuasaan. Fokusnya tetap pada dunia pendidikan dan dakwah. Sikap ini memperlihatkan kepribadiannya yang konsisten: bahwa perjuangan membangun bangsa tidak hanya dilakukan lewat parlemen, melainkan juga lewat mencerdaskan kehidupan umat.

Kahar Muzakir wafat pada 2 Desember 1973. Meski jasanya besar, namanya tidak setenar Soekarno atau Hatta, bahkan sering kalah pamor dari tokoh Islam lain seperti Agus Salim atau Wahid Hasyim. Namun, warisan pemikirannya tetap abadi: pentingnya merawat persatuan, menghargai perbedaan, dan menempatkan agama sebagai sumber moralitas, bukan alat politik. Hingga kini, gagasannya masih hidup di UII, di ruang-ruang kelas, dan di pemikiran para sarjana Muslim yang melanjutkan warisannya.

Kini, setiap kali bangsa ini merayakan kemerdekaan, sepatutnya kita juga mengingat jasa Abdul Kahar Muzakir. Ia adalah ulama yang rela mengorbankan kepentingan kelompok demi cita-cita besar: Indonesia merdeka, bersatu, dan berdaulat. Sosoknya mengajarkan bahwa kebijaksanaan sering lahir bukan dari suara paling keras, melainkan dari hati yang paling tenang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline